17. Bandung

32 25 33
                                    

***

Nyatanya, tabah hanyalah omong kosong. Kini, Mama bersimpuh di samping gundukan tanah. Memukul dadanya yang terasa amat menyesakkan.

Bang Gara menaburkan kelopak bunga mawar di atas gundukan, lalu mendekap erat tubuh Mama yang terkulai lemas.

Aku masih berdiri, menatap pusara yang kini telah wangi karna bunga yang di taburkan Bang Gara. Di balik kacamata hitam yang aku kenakan, Mataku memerah menahan tangis.

Aku berjongkok, mengelus papan nisan dengan perasaan yang teramat sedih. "Assalamu'alaikum, Papa" ucapku lirih

Bang Gara menggenggam sebelah tanganku dengan erat, menguatkan aku jika kini Aku tidak sendiri, ada Bang Gara yang senantiasa menemani.

Aku menatap wajah Bang Gara dengan sendu, lalu kembali mengalihkan perhatiannya kearah gundukan tanah yang tepat berada di hadapanku. Setelahnya, Aku mulai menangis.

Sekuat apapun belajar merelakan, tetap saja terasa menyesakkan. Tragedi yang menimpa Papa, bagaikan duri yang masih tertanam rapih di dalam hati kami. Menusuk dengan kencang, hingga menimbulkan luka yang begitu dalam, dan sulit untuk di obati.

Bang Gara merangkulku, Aku tatap matanya yang sudah memerah. Aku yakin jika Bang Gara ingin sekali menangis, namun sekuat tenaga ia tahan.

Bang Gara sudah berjanji pada dirinya sendiri, untuk tidak pernah menangis di makam Papa. Aku memeluk tubuh Bang Gara dengan erat, Seperti Mama yang memeluk Bang Gara dengan sisa tangis yang begitu menyayat hati.

Bang Gara masih tidak bergeming. Matanya hanya menatap dengan sendu, gundukan tanah yang kini tepat berada di hadapannya. Sedangkan di sisinya, ada aku dan Mama yang harus ia kuatkan.

"Pa, lihat. Kami hancur tanpa hadirnya sosok dirimu!" Bang Gara berucap lirih, satu persatu air mata yang telah di tahan sekuat mungkin, kini malah terjatuh membasahi pipi. Bang Gara telah melanggar janjinya sendiri.

Mama kembali menangis, tangisannya begitu menyayat, Bang Gara hanya mampu mendekap erat tubuh Mama, dengan lirihan suara yang menenangkan, berharap mama akan sadar jika kita tidak boleh menangisi Papa, agar Papa bisa tenang disana.

"Mama..." ucapku tertahan di tenggorokkan, Mama menoleh, lalu berhambur kedalam dekapan diriku. Tangannya dengan lembut mengusap lembut rambutku.

"Anak kesayangan Papa, mutiara Papa." Aku tergugu pilu, mendengar lirihan Mama, "kamu harus kuat ya nak!" lirih Mama kembali terucap.

"Mama yang harus kuat. Maa... ikhlasin apa yang telah pergi. Kita udah janji buat belajar ikhlasin Papa!!" tekanku dengan sorot mata yang senantiasa menyendu.

"Kamu harus tau nak!! selancar apapun Mama berucap rela, tapi tetap saja jika duka akan terus hadir menyelimuti hati Mama yang telah hancur. Satu tahun belakangan ini, Mama sengaja melupakan Papamu, hanya untuk belajar ikhlas. Namun, setelah mendengar tangismu malam itu, Mama sadar jika Papamu merindukan mutiaranya. Maaf, hanya karna keegoisan Mama yang tidak mau membawamu dan Abangmu berkunjung kesini, kamu jadi merindukan Papamu!!" jelas Mama lirih

"Maaa..." Bang Gara berhambur, memeluk Mama, dengan mata yang tidak bisa teralihkan dari pusara makam Papa.

"Paaa, dengan cara apalagi, agar aku bisa menguatkan Mama? menghapus duka di hati Mama? Dan membawa mama kembali dari jurang kegelapan yang Mama buat sendiri?" ucapku dalam hati, dengan tangan yang kini mengelus batu nisan.

Jarak Titik ke Koma [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang