32. Patah

37 26 10
                                    

Awan hitam menutupi langit yang biru, menandakan hujan akan segera tiba, mengguyur bumi.

Agam berjalan dengan langkah yang begitu gontai, menuju makam sang sahabat. Dirinya sama seperti mereka, merasa kehilangan dengan apa yang telah terjadi.

Agam, adalah sosok satu-satunya yang mengetahui segalanya, dari awal Orion di nyatakan kanker beberapa bulan yang lalu. Bagi Agam, Orion adalah sebagian jiwanya. Tanpa Orion, Agam hanyalah anak remaja biasa yang hidupnya begitu hampa. Orion telah membawa banyak perubahan besar untuk dirinya.

Kini, Agam hanya bisa menatap sendu makam sang sahabat, Tatapannya menyorot akan kesedihan yang mendalam. Hujan jatuh dengan perlahan, Agam mendongak, menatap langit yang kini menjadi begitu gelap.

Di lepasnya kemeja hitam yang melekat di tubuhnya, hujan langsung datang mengguyur dengan derasnya. Di bawah hujan, Agam menangis, meraung, dan memukul tanah yang di pijaknya dengan kesal .

Matanya kembali menatap makan Orion yang telah di selimuti kemejanya yang telah basah, lalu sesaat kemudian, senyum kecil terbit di wajah sendunya.

"Udah ga dingin lagi kan?" Agam terkekeh, menerawang ke segala kenangan yang telah di laluinya bersama Orion.

Malam itu, Orion datang ke rumahnya, dengan keadaan yang jauh dari kata baik, Bajunya basah, dengan tubuh yang menggigil.

Orion bertengkar lagi dengan Rigel malam itu, Lalu pergi mengunjungi rumahnya dengan menerobos hujan yang turun begitu derasnya.

Agam menangis, Hingga dirinya merasakan hujan tak lagi mengenai dirinya. Matanya mendongak, menatap sendu wajah yang kini telah di banjiri air mata, sama seperti dirinya.

"Bangun, Gam!" sentaknya membuat Agam segera bangkit dari duduknya

"Laa, Lo ngapain disini?" tekan Agam membuat Lala mendengus dengan air mata yang masih membanjiri pipi.

"Aku tau kamu bakal kesini. Gam, kita semua merasa kehilangan, terlebih kamu. Tapi, jangan menangisi Orion seperti tadi, itu membuat Orion tidak tenang disana!" tekan Lala

Tidak lama derap langkah kaki terdengar dengan tergesa-gesa. Leon datang langsung menubruk tubuh Agam yang sudah lemas.

Leon menyalurkan rasa duka, menguatkan hati Agam, walaupun Leon sendiri tidak yakin, jika dirinya akan mampu untuk merelakan Orion.

Keduanya kembali menangis, Isak tangisnya keluar begitu menyayat hati, Lala menatap keduanya dengan hati yang perih.

"Orion, Yon!" pekik Agam, Leon mengangguk kecil, matanya menatap pusara Orion dengan hati yang teriris

"Maafin gue Orion. Gua terlalu sibuk ngejar cita-cita, sampe lupa kalo sahabat gue terluka!" lirihnya dengan tangis yang tak kunjung mereda.

Bersama-sama, mereka saling merangkul, dengan Lala yang berada di tengah-tengah. Menatap dengan sendu pusara Orion yang basah, Air hujan semakin deras, menutupi setiap jejak air mata yang sedari tadi keluar tanpa henti.

"Orion... Selamat jalan dan selamat berpetualang dalam sebuah perjalanan yang panjang. Pergilah dengan tenang dengan sebuah senyuman. Meskipun pergi meninggalkan sebuah luka dan kenangan yang tak akan pernah terlupakan. Kami disini, akan belajar untuk ikhlas dan merelakan!" lirih Agam, setelahnya beranjak pergi bersama Lala dan Leon yang berada di sisinya.

Leon membalikkan tubuhnya, melambai dengan gerakan pelan, membuat Agam dan Lala turut menghentikan langkahnya.

"Yon, ayo!!" ujar Agam

"Sebentar, gue mau dadah dulu ke Orion!!" pekik Leon yang suaranya teredam air hujan.

Leon melambai, kali ini dengan senyum yang terbit di wajahnya, kepalanya mendongak, menatap kabut hitam yang berada di langit. Agam terdiam, tapi tangannya mengikuti pergerakkan Leon yang masih melambai dengan gerakan semangat, di ikuti Lala yang melambai dengan senyum tipis

"Kami melambai padamu dari kejauhan. Berharap lo melihat lambaian kami dari atas sana. Hari ini air mata kembali jatuh membasahi pipi. Tak apa, ini semua adalah sebuah bukti. Kalau lo masih setia di pelukan kami!!" Teriak Leon lantang, setelahnya berlari menjauh dari pemakaman, di ikuti Lala dan juga Agam.

***


Malam ini, Bulan bersinar dengan terang. Menggantikan mentari yang tadi tertutup kabut hitam, hanya karena hujan datang.

Seharian ini, Cana mengurung diri di dalam kamar, Ia membenci hujan untuk pertama kali di dalam hidupnya.

Baginya, Hujan siang tadi adalah suasana kedukaan, Cuaca yang pas untuk dirinya merenung di dalam kamar.

Namun, malam ini bulan bersinar di langit malam. Cana tersenyum manis, saat mengingat kebersamaan dirinya bersama Orion pada malam itu, duduk berdua di bawah sinar rembulan.

Sesaat kemudian, senyum itu terganti menjadi isak tangis yang pilu. Cana menyadari hal sesuatu, jika malam itu adalah terakhir kali mereka bertemu. Kejadian tidak terduga terjadi, membuat dirinya koma dan tidak dapat menemani Orion di masa-masa terakhirnya.

Mama menceritakan segalanya, Orion selalu menemani Cana setiap harinya. Setiap jam, Orion tidak lupa mengunjungi dirinya, walaupun hanya melihat di pembatas kaca saja.

Cerita itu mampu membuat Cana tak bisa berkata-kata, hanya mampu menitikkan setiap tetes air mata.

Cana berdiri dari duduknya, melangkah mendekati meja belajar yang berada di sudut kamarnya.

Matanya menatap tumpukan buku diary baru dengan tatapan yang hampa.

Menghela nafas panjang, Cana mulai menulis tentang hari ini. Hari dimana menjadi hari terberat di dalam hidupnya, setelah hari dimana Papa meninggalkan dirinya.

"Aksara telah berlabuh, menjauh dari tepian samudra biru. Berkelana menjelajah, di dunia yang baru."

"Aksara meninggalkan coretan sajak sendu, untuk mengingatkan mereka, tentang dirimu."

"Kita di sadarkan oleh garis kehidupan yang berbeda, Tentang cinta yang memang tidak akan bisa bersama. Namun kini, garis takdir tidaklah menjadi acuannya, namun kematian yang menjadi akhir dalam rangkaian cerita cinta."




Jarak Titik ke Koma [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang