Namanya Bagaskara.
Kata bunda artinya matahari. Yang memberi cahaya penerangan. Matahari bersinar. Tapi menurutnya.... kebalikannya.
Bunda memberikan nama Bagaskara karena kelahirannya memberikan suasana bahagia bagi semua orang. Apanya. Ia bahkan lahir sebelum waktunya hingga hampir mengancam nyawa ibunya sendiri. Belum cukup membuat bunda menderita, umur tujuh bulan ia harus dibawa lagi ke rumah sakit karena mengalami Patent Ductus Arteriosus, intinya kelainan jantung.
Sebenarnya harus operasi, namun karena keadaan yang tidak memungkinkan alias tidak punya biaya, Bagaskara hanya diberi penanganan pemasangan alat penyumbat dan ditunjang oleh obat-obatan sampai sekarang.
Saat itu juga tidak mudah, kata abangnya bunda sampai menjual rumah demi dirinya agar terus hidup. Karena itulah mereka sekarang tinggal di rumah kecil dekat rel kereta.
Nyaman. Hanya saja, ketika hujan harus siap siaga ember karena bocor.
Bagaskara merepotkan bahkan dari sebelum lahir. Kalau kata dia mending udah gak diadain saja dari awal daripada demi kelangsungan hidupnya sampai membuat bunda tiada.
Bunda kelelahan berat hingga mengalami penyumbatan darah. Bunda dinyatakan meninggal di pelukannya karena serangan jantung tepat di hari ulang tahun Bagaskara ke tujuh.
Dipikir-pikir angka tujuh keramat juga.
"Padahal hanya bunda yang diambil Tuhan, tapi hidupku juga ikut hilang." Gumam Bagaskara sambil meletakkan setangkai bunga matahari yang ia ambil dari taman belakang sekolah. Sudah izin kok, jadi aman.
Tidak setiap hari, Bagaskara menyempatkan main ke rumah ibu sekedar curhat dan mengirim doa singkat.
Bagaskara terdiam memandangi nisan yang sudah tidak terlihat lagi tulisan nama bundanya. Maklum, sudah sembilan tahun.
"Bunda salah beri nama tau. Hidupku suram begini, Bagaskara apanya."
Ck.
Terdengar suara decakan di belakang.
"Meskipun suram nasibmu, tapi ada yang mensyukuri kehadiran mu, Kara."
Tanpa menoleh Bagaskara tau itu siapa.
"Abang contohnya."
Kara berdecih, lalu berjalan menghampiri kakaknya. Tubuhnya yang tinggi semampai membuat Kara harus mendongak untuk melihat wajah abangnya.
"Ayo pulang. Surup-surup ke kuburan. Ada yang ngintilin tau rasa kamu." Kara dirangkul dan dituntun pergi dari area TPU.
Mereka berjalan pelan menuju rumah bersamaan dengan burung-burung yang pulang ke sangkarnya.
Dia Langit. Abangnya Kara, pengganti ibu dan yang menjadi ayah sejak Kara bayi. Nama Langit keren, belakangnya nama Inggris. Bukan seperti namanya yang hanya satu kata.
Kata Langit dia lahir di luar negeri.
"Kalau gak ada kamu, Abang pasti sendirian di dunia ini. Kalau kamu gak lahir, kalau bunda gak merjuangin kamu, Abang gak ada temen makan bubur malem-malem."
Kara tertawa. "Kan ada bunda."
"Bunda meninggal karena udah waktunya pergi. Perjuangannya udah selesai, dan sekarang gantian Abang. Kalau kamu gak ada dari awal, terus Abang berdua sama bunda. Bunda meninggal, Abang sendiri kan?"
"Berarti Tuhan nguji gimana kuatnya Abang."
"Lha itu maksud gue!" Langit berujar heboh."Lo juga gitu, dek. Pikir sendiri deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
HAPPY ENDING✔️
Fiksi RemajaSemua itu perihal menerima. Btw, orang-orang pada gak percaya sama judulnya.