Bab15-Bahasa Cinta

1.8K 123 0
                                    

Saling mendo'akan, adalah bahasa cinta yang paling tinggi, paling ikhlas, dan tanpa pamrih.
Semoga langkahku untuk tidak bersua sebelum benar-benar siap, diridhai Allah. Dan kita dipertemukan dalam waktu, dan keadaan yang tepat menurut takdir Allah.

@alaziz

🌼

Aziz kembali menemui Lastri setelah menyimpan semua belanjaannya. Aziz membawa segelas air untuk diberikan pada Lastri.

"Minum dulu Mi," ujar Aziz, dia menyimpan segelas air dimeja

"Makasih ya, nak." Balas Lastri, seraya mengambil air minumnya, "Bismillah." Lastri pun meminum minumannya

"Umi kok gak bilang kalau mau belanja keluar, kan bisa Aziz bantu biar gak kerepotan kaya tadi,"

"Gak papa, lagian umi seneng kok." Lastri menatap Aziz seraya tersenyum, "Oh iya, Kamu tahu gak Ziz? Tadi gadis yang bantuin umi itu, adalah orang yang dulu pernah nolongin umi pas umi mau keserempet motor,"

"Yang mana, Mi?"

"Itu yang dulu pas di Jakarta, sekitar satu minggu yang lalu. Pas itu umi pernah cerita kalau umi hampir keserempet, tapi alhamdulillah umi ditolong sama anak perempuan yang katanya mau beli makan,"

"Yang pas Aziz lagi ke toilet?"

"Iya, itu. Umi gak nyangka bisa ketemu lagi sama dia,"

"Masa sih, Mi. Kan kejadian itu di Jakarta, kok orangnya ada disini?"

"Ternyata dia orang sini, dulu ke Jakarta cuma lagi main aja. Dan tadi umi baru tahu namanya, kalau gak salah namanya Kiya,"

"Oh, gitu. Aziz mau ngomong sesuatu sama umi, boleh gak?"

"Ya boleh, ngomong aja!"

"Nanti kalau Abi nelpon, tolong bilangin Aziz belum siap kalau harus dipertemukan sama Aisyah,"

"Kenapa gak kamu aja yang bilang?"

"Aziz gak enak, Mi. Semalam Abi nelpon nanyain kapan pulang, katanya keluarga Aisyah mau ke Jakarta,"

Lastri tersenyum, "Yaudah nanti umi coba bicara sama Abi, ya?"

"Makasih ya, Mi."

...

Kiya terlihat begitu menikmati makanan buatan ibunya, setelah beberapa hari dia mogok makan. Jaya yang baru saja datang, menghampiri Kiya saat dia melihat Kiya sudah keluar dari kamarnya.

"Kiya!" Panggil Jaya

Kiya menghentikan makannya, dia berbalik dan menatap Jaya, "Bapak?"

"Bapak seneng kamu udah mau keluar, dan makan lagi,"

"Iya, pak."

"Bapak mau bicara sama kamu, bisa?"

"Iya, Kiya beresin dulu makannya,"

"Bapak tunggu di teras." Ujar Jaya, Kiya hanya membalasnya dengan anggukan

Setelah kepergian Jaya, Kiya pun melanjutkan makannya. Maryam yang melihat Kiya masih terlihat murung, mencoba memberikan semangat pada putrinya.

"Kiya! Kamu yang semangat, kamu harus lebih sabar ngadepin bapak kamu. Bagaimanapun dia Bapak kamu, yang harus kamu hormati,"

Kiya tersenyum tipis, "Iya Bu, Kiya paham kok. Yaudah Kiya keluar dulu, mau temuin Bapak," balas Kiya

"Iya."

Selesai makan, Kiya bergegas keluar menemui ayahnya. Kiya melihat Jaya tengah duduk di kursi, sebelum menghampirinya sebisa mungkin Kiya menenangkan dirinya.

"Pak!" ucapnya, seraya duduk disebelah Jaya

"Kiya, udah makannya?"

"Udah."

Jaya menatap putrinya, ada rasa kecewa atas apa yang telah dia perbuat saat melihat mata putrinya yang sayu, dan sembab.

"Bapak mau minta maaf sudah bentak kamu kemarin, bapak harusnya lebih mengerti sama keadaan kamu. Tapi--"

"Bapak gak usah merasa bersalah, Kiya udah maafin. Kiya tahu maksud bapak itu baik, tapi Kiya tahu mana yang terbaik untuk Kiya. Kiya tidak terlalu mengejar harta dari seseorang, point penting yang Kiya cari dari pasangan Kiya nanti, adalah ilmunya. Meski Kiya hanya wanita yang kurang dari pemahaman Ilmu Agama, tapi Kiya juga butuh sosok imam yang mampu melindungi, memimpin, dan membimbing Kiya untuk membangun rumah tangga yang diridhai Allah." Potong Kiya sembari menunduk

Jaya mengepal tangannya, "Apa aku gagal jadi orang tua yang baik untuk putriku sendiri?" Batin Jaya

"Bapak paham sekarang. Setelah kejadian kemarin saat kamu marah karena Riski mau memegang tanganmu, kamu bukan sombong karena tidak mau menerimanya. Tapi karena kamu menjaga kehormatanmu sebagai wanita yang baik. Kamu tahu kalau Riski bukan mahram mu, jadi sekarang bapak tahu kamu adalah wanita yang mampu menjaga diri kamu. Maafin bapak karena kurang memperhatikanmu, karena bapak selalu sibuk di sawah. Tapi bapak bangga, karena kamu sudah memperlihatkan hal yang baik ini pada bapak," ujar Jaya

Kiya mendongak, dia menatap Jaya penuh senyum, "Apa Kiya gak salah denger, Pak?"

"Enggak neng, bapak harusnya bisa memahami ini dari dulu. Bapak terlalu ingin melihat kamu bahagia, dengan kehidupan yang berkecukupan nantinya. Makanya bapak ingin menjodohkan kamu dengan Riski, yang juga anak dari temen bapak, yang hidupnya sudah terjamin berkecukupan, bahkan Riski lulusan terbaik di kampusnya. Tapi bapak sadar, kekayaan bukan point utamanya." Ujar Jaya menjelaskan

"Jadi apa bapak tidak akan memaksa Kiya lagi?"

Jaya menarik nafasnya pelan, "Maafin bapak Neng, tapi bapak sudah terlanjur janji sama temen bapak. Sekarang, sebisa mungkin kamu mencoba menjalaninya saja dulu dengan baik. Jika memang kamu merasa tidak bisa mencintai, dan menerima Riski, semua terserah padamu,"

"Iya pak, Kiya paham. Sebisa mungkin Kiya tidak akan membuat bapak kecewa." Balas Kiya, dia beranjak dari duduknya, dan memeluk ayahnya

...

Malam kembali menyapa. Cahaya bintang, dan bulan begitu menerangi bumi. Aziz yang menikmati suasana di Garut, seakan enggan kembali ke Jakarta.
Aziz memang pria yang terbilang tegas, dan juga cuek pada perempuan yang belum dia kenal. Dia anak yang begitu lekat dengan ilmu agamanya, dia begitu menjaga batasan antara pria dan wanita yang belum mahramnya.

Selesai shalat Isya, Aziz tak pernah lupa untuk tadarus. Aziz memiliki suara yang merdu saat melantunkan ayat suci Al-Qur'an, sehingga Lastri selalu merasa tentram saat mendengar putranya membaca Al-Qur'an.

Aziz menutup Al-Qur'annya, dia mengelus lembut Al-Qur'an yang tengah dia pegang, "Ya Allah, terimakasih masih memberikan hamba kesempatan untuk hidup hari ini."

Aziz termenung, diusianya yang semakin beranjak dewasa, dia memang merindukan sosok yang masih Allah rahasiakan. Tapi tidak menutup kemungkinan, Aziz tidak memiliki perasaan pada seseorang. Karena dia paham bagaimana menjaga hati, dan perasaannya.

"Hamba titipkan semua hal yang hamba cintai padamu, Ya Rabb. Kelak jika takdirmu sudah meridhai untuk hamba meminang salah satu wanita, yang sudah engkau takdirkan untuk hamba, berilah hamba kesiapan agar hamba mampu menjaga pilihanmu dengan baik, Aamiin."

Aziz tersenyum, dia menyimpan kembali Al-Qur'annya di nakas. Dia keluar menemui Ibu, dan neneknya yang tengah makan malam.

_________________

Istikharah Cinta✍🏻

Istikharah Cinta (LENGKAP) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang