Jangankan memilikimu, berkomunikasi denganmu saja suatu hal yang mustahil.
Sesakit dan serumit itu mencintai, dan mengagumi seseorang yang paham agama sepertimu:')@riyanti_
🌼
Hari semakin siang, Kiya mengajak Alesha, dan Akifah untuk pulang. Meski Kiya masih males untuk pulang ke rumah, tapi dia juga tidak mau membuat ibunya khawatir.
"Kita pulang, yuk!" Ajak Kiya
"Kamu pulang ke rumah, kan?" tanya Akifah yang melihat Kiya masih merasa bingung
"Sebenarnya aku masih males pulang ke rumah, tapi aku gak mau buat ibu khawatir,"
"Kamu tinggal kabari saja Wa Maryam, kalau kamu baik-baik saja dan sekarang kamu lagi main sama kita,"
"Gak bisa, Fah. Dari kemarin aku matiin Handphoneku, soalnya A Riski nelpon terus."
"Yaudah, lewat Handphone aku aja," tambah Alesha
"Gak usah Sha, kita pulang aja. Lagian aku juga udah capek diem mulu kaya gini,"
"Yaudah kalau itu mau kamu, aku beresin dulu wadah nasinya." Balas Alesha, dia membereskan kembali rantang bekas makanannya
Alesha tidak sengaja melihat buku Diary Kiya yang tertinggal, "Inikan buku Diary Kiya." Lirihnya
"Kiy, Kiyaaa!" Panggil Alesha
"Ada apa?"
"Nih buku kamu ketinggalan," ujar Alesha, seraya menunjukkan bukunya pada Kiya
"Eh iya, aku lupa."
Saat Kiya akan mengambilnya, Alesha tidak sengaja menjatuhkan bukunya hingga ada beberapa lembar kertas yang jatuh berhamburan.
"Sha, kok dijatuhin sih?" Kiya langsung membereskan kembali buku, dan beberapa lembar kertas yang berhamburan
"Bukan dijatuhin Kiy, tapi gak sengaja kelepasan terus jatuh." Alesha pun membantu membereskan bukunya
"Makasih ya, Sha."
"Maaf ya, kertasnya jadi ada yang kotor gara-gara aku," lirih Alesha
"Gak papa. Lagian catatan yang di kertas ini, udah sebagian aku pindahin dibuku Diary-nya," balas Kiya
"Yaudah yuk, kita pulang."
Sepanjang jalan, Kiya terlihat murung. Alesha, dan Akifah mengerti betul dengan perasaan sahabatnya itu.
"Kamu beneran mau pulang ke rumah? Atau kamu ke rumah aku aja?" tanya Akifah
"Aku pulang saja. Kalian gak usah khawatir, aku akan baik-baik saja," balas Kiya
"Baik-baik saja, tapi muka kamu sedih kaya gitu," tambah Alesha
"Aku gak papa, beneran."
Sampai didepan Rumah, Kiya sudah disambut dengan Jaya, dan juga Maryam. Tatapan Jaya begitu mengisyaratkan, kalau dia sedang menahan amarah.
"Bisa-bisanya kamu main diluar, tanpa memikirkan gimana kita yang khawatir disini," ujar Jaya dengan nada yang cukup tinggi
"Maaf." Hanya satu kata yang terucap dari bibir Kiya, tak ada gunanya lagi Kiya melawan karena tetap saja Kiya yang akan kalah
"Ditelepon gak bisa, kamu tuh jangan bikin bapak marah terus," nada bicara Jaya semakin tinggi, Maryam dengan sigap menenangkan Jaya
"Udah pak, jangan bicara pake nada tinggi kaya gitu!" Tambah Maryam
Kiya tak menggubrisnya, dia berbalik dan menatap kedua sahabatnya itu, "Fah, Sha, makasih ya udah nemenin aku main hari ini. Kalian pulang aja dulu, nanti aku kabari lagi," ujar Kiya seraya tersenyum
"Iya, Kiy. Kita pulang dulu, assalamu'alaikum?"
"Wa'alaikumsallam."
Tiba-tiba Riski keluar dari dalam rumah Kiya, "Kiya, kamu udah pulang? Aku nungguin kamu dari tadi, aku mau ngajak kamu jalan, bisakan?"
Kiya tak menjawabnya, dia berlalu begitu saja meninggalkan Jaya, Maryam, dan Riski.
"KIYAA!" Panggil Jaya, dengan penuh tekanan disetiap katanya
"Aku mandi dulu." Balas Kiya, diapun melanjutkan langkahnya masuk kedalam kamar
...
Selesai shalat Dzuhur berjamaah di Mesjid, Aziz kembali ke rumah neneknya. Disepanjang jalan, Aziz menjadi pusat perhatian semua orang.
Muhammad Al-Aziz Ade Ibrahim. Pria berwajah tampan, putih, dan memiliki senyuman manis itu, berhasil mencuri perhatian semua orang. Semenjak dia melantunkan ayat suci Al-Qur'an, dan menjadi imam di Mushola Al-Islah, Aziz seperti memiliki penggemar banyak di Desa neneknya itu."Assalamu'alaikum?" ucap Aziz, saat dia memasuki rumah neneknya
"Wa'alaikumsallam, duduk!" Balas Nek Dizah
"Umi mana, Nek?"
"Umi kamu di dapur, lagi masak,"
"Aziz mau izin keluar sebentar, boleh gak Nek?"
"Mau kemana?"
"Kemana aja, sekalian jalan-jalan disini,"
"Boleh. Kamu hati-hati, jangan sampai salah jalan,"
"Iya, nek. Nanti nenek bilangin aja ke Umi, Aziz keluar sebentar,"
"Iya, nanti nenek bilangin,"
"Assalamu'alaikum?"
"Wa'alaikumsallam."
Aziz berjalan menuju tempat yang dia cari, langkahnya menyusuri tapak jalan di pesawahan. Entah kemana tujuannya, dia terus berjalan sesuai naluri hatinya.
"Tempat ini kaya gak asing, tapi gak mungkin aku kenal. Soalnya baru kali ini aku main ke Desa Nenek." Batinnya
Aziz tidak sengaja melihat saung ditepi sawah paling bawah, "Itu ada gubuk kecil, aku coba kesana aja deh."
Aziz berjalan dengan penuh hati-hati, jalannya yang cukup licin membuat Aziz susah menyeimbangkan tubuhnya. Sedikit sulit bagi Aziz yang anak kota, harus berjalan dijalan setapak, dan juga sedikit licin.
Aziz menghembuskan nafasnya pelan, "Alhamdulillah, akhirnya sampai di gubuk ini. Kok orang-orang hebat banget ya, jalan lewat sini. Apa mereka pernah jatuh, atau kepleset gitu?" Pikirnya
Aziz menyusuri setiap sudut gubuk itu, "Jadi kalau orang-orang capek habis kerja di sawah, mereka istirahat di gubuk ini."
"Kayaknya tempat ini baru saja dipakai." Lirihnya, saat melihat beberapa bekas makanan dibawah
Pandangannya terhenti pada satu kertas dibawah kolong gubuk itu. Dia mengambilnya, dan mencoba membersihkan kotoran yang menempel di kertas itu.
"Ini bukan lembar kertas biasa ternyata, ini kaya tulisan karya puitis gitu," lirihnya
"Tapi kertasnya sedikit kotor karena terjatuh dibawah. Aku bawa aja deh, nanti aku coba baca di rumah." Aziz melipatkan kertas itu, dan memasukannya kedalam saku celananya
________________
Istikharah Cinta✍🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
Istikharah Cinta (LENGKAP) ✅
EspiritualAdzkiya Naila Askanah Sakhi, gadis Desa yang menyimpan perasaan pada satu sosok laki-laki yang bahkan dia juga belum mengenalnya. Disalah satu majlis saat dia mengikuti pengajian rutin, Adzkiya mulai mengagumi salah satu mubaligh dimajlisnya. Namun...