[19] -*KBL*-

208 17 2
                                    

"Yang sabar ya Salanza, kamu harus kuat" Suster Novi menyentuh bahuku, meminta aku untuk berhenti menangis

Aku menatap orang-orang yang sedang melantunkan doa. Semua ini salah! Aku merasa mama masih ada di sini, memelukku. Bayangan tubuh mama yang tak berdaya kembali memenuhi benakku, membuat aku mengepalkan tangan erat-erat.

Aku marah pada mereka yang telah menguburkan mama tanpa seizinku. Aku marah pada diriku sendiri yang tidak bisa datang ke tempat mama di kuburkan. Melihat tubuh mama yang kaku dan membiru adalah pemandangan yang paling mengerikan.

Aku bertanya-tanya pada tuhan, kenapa harus mama yang pergi meninggalkanku?

Bagaimana diriku bisa menjadi seorang ibu yang baik sedangkan engkau sendiri mengambil seseorang yang bisa membimbingku untuk menjadi seorang ibu?

Sekarang apa yang harus aku lakukan setelah ini?

Apa ini hukuman untuk ku karena sudah melakukan hal yang seharusnya tidak aku lakukan? tapi kenapa harus mama?

"Salanza"

Bapak memanggilku, mungkin ia mencoba menyadarkan aku dari kemarahan yang kurasakan saat ini.

Aku kembali menetes saat melihat bapak di depan ku dengan tatapan sayunya "Ikhlas ya sayang"

"Mama..." Rintihku

Bapak memelukku, dia tidak mengatakan apa-apa, hanya diam dan menangis dalam diam membuatku semakin sesak "Maaf" lirihnya

"La udah, jangan kaya gini kasian mama" Ucap kak Alin yang juga ikut memelukku sambil menangis

"Tadi malem mama janji bakalan nemenin lala, mama bohong..."

"Semalem dia peluk lala, semalem mama juga bilang gak sabar mau di panggil nenek sama anak lala"

Kami semua menangis karena kepergian mama yang tiba-tiba kami semua merasa kehilangan. Kenapa harus sekarang? Di saat aku membutuhkan seseorang untuk mengeluarkan keluh kesah dan rasa khawatir yang akan aku alami.

Aku terus menangis meski banyak orang yang menguatkan ku dan berusaha menenangkanku tapi rasanya masih sesak dan sakit, bahkan Dokter Rinda pun memintaku untuk mengatur nafas karena aku sempat mengalami pingsan beberapa kali.

Aku sangat kecewa karena tidak bisa ikut memakamkan mama, di saat aku sadar mereka memberitahuku jika mama sudah dimakamkan. Aku juga ingin melihat tempat peristirahatan mama yang baru, apa mereka takut aku merepotkan sehingga tidak mau menungguku sadar terlebih dulu dari pingsan?

"Kenapa kalian pergi tanpa lala? Kalian anggap lala apa? Lala juga anaknya mama, KENAPA KALIAN GAK LIBATIN LALA DALAM HAL PENTING KAYA GINI!!!"

"LEPAS,... LALA MAU IKUT MAMA AJA"

"MAMA JANGAN TINGGALIN LALA"

"LALA TAKUT, MAMA...."

Aku berusaha melepaskan pelukan bapak dan kakak-kakak ku aku hanya ingin bersama mama, kenapa mereka terus menahanku?

"Lala sadar kamu lagi hamil. Jangan kaya gini. Setelah kondisi kamu baik, kakak bakalan anter kamu buat ke makam mama" Ucap kak Satya

Bapak melepaskan pelukannya dan ia memegang wajahku "Lala sayangkan sama mama? udah ya nak, jangan buat bapak khawatir, ada bapak dan kakak kamu"'

"LALA MAU MAMA" Teriak ku pada mereka

Aku melihat Rio juga menangis di pojok sana, aku tau dia juga sama hancurnya denganku tapi bedanya dia bisa melihat mama untuk terakhir kalinya sedangkan aku tidak.

Tidak bisakah mereka mengerti, jika aku belum benar-benar meminta maaf padanya. Selama ini setiap aku ingin meminta maaf, ia selalu mengalihkan pembicaraan, tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan. Aku sangat menyesal meski dia sudah berkata jika ini semua bukan sepenuhnya salahku.

Kenangan Bersama LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang