mashiho terbangun dalam keadaan mata sembab. sebuah langit-langit ruangan yang asing adalah hal pertama yang menyapa manik kelamnya.
ia mendapati dirinya yang terbaring di sebuah ranjang dengan sekujur tubuh yang terasa sangat lemas, seolah tak memiliki kekuatan bahkan hanya untuk menggerakkan ujung jarinya sekalipun.
mengapa aku masih hidup?
padahal mashiho berharap orang-orang bejat itu benar-benar mengambil organnya setelah memperlakukannya bak seorang jalang yang hina sehingga dirinya tak perlu repot-repot menginjakkan kaki lagi di dunia yang kelam ini.
kedua netra kosong itu kini terarah ke arah jendela yang cukup lebar dengan pemandangan langit biru yang terpampang di luarnya.
satu ide nekat terlintas dalam benak mashiho. oleh karena itu, ia pun memaksakan diri untuk bangun demi mendapatkan kebebasannya.
"akhㅡ!"
pemuda mungil itu sontak meringis tertahan ketika rasa nyeri bercampur perih itu datang dari dua sisi tubuhnya.
mashiho menyingkap kemeja putihnya dan mendapati perban putih yang membalut pinggangnya, sumber dari salah satu rasa perih itu.
kemudian tertawa hambar setelahnya ketika menyadari bagian lain dari tubuhnya yang juga terasa nyeri dan ngilu di saat yang bersamaan.
berusaha mengabaikan semua itu, mashiho bangkit berdiri untuk berjalan ke arah jendela. namun naas, rasa sakit tak tertahankan pada bagian bawah tubuhnya benar-benar tak bisa diajak berkompromi, membuatnya terjatuh begitu saja di atas lantai yang dingin.
"sial, sial, sial! hiksㅡ kenapa hidupku sial sekali, sih ...."
mashiho mengusap kasar air mata yang dengan lancang mengalir begitu saja dari kedua netranya, lantas melanjutkan usahanya untuk membebaskan diri dari dunia itu.
namun, seluruh pergerakannya sontak terhenti begitu saja kala pintu ruangan itu terbuka, menampilkan sosok yang serta-merta membuatnya bertanya-tanya, apakah kali ini dirinya tengah berada dalam halusinasi lagi untuk kesekian kalinya?
"kau baik-baik saja? kenapa bisa berada di lantai seperti ini?"
suara bariton itu dan sorot mata yang kini tengah menatapnya khawatir membuat kedua manik mashiho kembali memburam seolah tertutup kabut.
"y-yoshi hyung?" ucapnya parau.
sang pemilik nama pun mengulas senyum hangatnya. sebuah ekspresi yang hanya pernah ia tunjukkan di depan mashiho dan akan begitu untuk seterusnya.
"ya, ini aku."
"yoshi hyung, i-ini benar kau? kau ... mengingatku?" si mungil kembali memastikan, takut kalau-kalau pendengarannya salah.
yoshi pun mengangguk kemudian tangannya bergerak membelai pipi mashiho yang entah sejak kapan telah menjadi begitu tirus.
"maaf, aku terlambat."
jawaban itu membuat raut wajah mashiho semakin tak terkontrol. emosi yang membuncah dalam dadanya tak bisa ia kendalikan lagi.
otaknya boleh menyuruh untuk menjauh dan melupakan pemuda yang berulang kali pernah menyakitinya itu.
namun, mashiho tak bisa berbohong bahwa hatinya tak bisa menolak kehadiran pemuda itu.
ia merindukan yoshi. sangat.
karena itulah, tubuh mungil mashiho menghambur dengan sendirinya ke dalam dekapan pemuda bersurai merah itu seiring dengan tangisnya yang benar-benar pecah.
"sakit ... hiksㅡ sakit, hyung."
yoshi membalas pelukan mashiho dengan perasaan hancur.
melihat mashiho dalam keadaan seperti itu kemarin malam membuatnya tak bisa berhenti untuk menyalahkan dirinya sendiri.
yoshi berpikir, menjauhkan mashiho darinya adalah keputusan yang paling tepat. namun, nyatanya ia salah.
seharusnya ia tetap berada di sisi pemuda itu untuk melindunginya.
memastikan keselamatan satu-satunya sosok yang berharga di dalam hidupnya.
ㅡ
jihoon melangkahkan kakinya memasuki sebuah motel, lengkap dengan setelan jas yang selalu melekat di tubuhnya, sembari menenteng satu kantung plastik berisi makanan yang baru saja ia beli di kedai makanan terdekat.
"tuan, ini jihoon," ucapnya setelah sampai di depan salah satu kamar yang letaknya sedikit terpencil.
tak berselang lama, yoshi pun membukakan pintu dari dalam dan mempersilakannya masuk.
ya, yoshi memang sengaja memilih untuk menginap di sebuah motel, alih-alih hotel bintang lima atau penginapan ternama lainnya, karena setidaknya tempat ini akan lebih sulit terlacak bila sewaktu-waktu sang ayah memantau keberadaannya.
"maaf menunggu lama, tuan."
"tidak juga."
yoshi membuka bungkusan yang berisi tiga porsi bubur itu kemudian menyajikan dua mangkuk di meja makan dan menyodorkan satu yang lain pada jihoon.
"u-untuk saya, tuan?"
"hm, makanlah." yoshi menjawab enteng.
sedangkan jihoon menerimanya dengan ekspresi heran.
sudah lima tahun lebih jihoon menjadi pengikut yoshi dan baru kali ini ia melihat sang tuan menunjukkan kepedulian semacam ini. ditambah aura pemuda bersurai merah itu yang bisa dibilang lebih tenang dan bersahabat hari ini.
"tentang masalah kemarin ...." yoshi membuka percakapan dengan suara sepelan mungkin agar mashiho tak dapat mendengarnya.
"apa yang harus saya lakukan terhadap orang-orang itu, tuan?" tanya jihoon tanggap.
"siksa dengan cara paling kejam lalu bunuh mereka semua."
oh, sepertinya jihoon harus kembali menarik kata-katanya.
karena bagaimanapun, kanemoto yoshinori tetaplah seseorang yang tak mengenal kata ampun.
"termasuk tuan takata?" jihoon bertanya lagi.
yoshi mengangguk sebelum menambahkan dengan cepat, "tapi sebelum itu ...."
"... cari tahu bagaimana dia bisa mengetahui keberadaan mashiho."
[]
yoshiho-nya dibiarin bahagia gak nih?
![](https://img.wattpad.com/cover/319145899-288-k929688.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
devilish charm; yoshiho [✓]
Fanfictionentah bagaimana ceritanya, tiba-tiba saja mashiho sudah terjebak bersama seorang pemuda jelmaan iblis seperti kanemoto yoshinori. ㅡ bxb, lowercase, baku ㅡ dom!yoshi sub!mashi ⚠ might contain physical abuse, violence, and sexual harassment