8

5.9K 641 20
                                    

Di sini Katrine berdiri. Di depan rumah Jeno yang terlihat begitu sepi. Perempuan itu menggigit jari telunjuknya karena merasa ia tidak harus benar-benar datang. Undangan lelaki itu bisa saja hanya sebuah bualan semata. 

Tapi bunyi pintu yang terbuka mengalihkan segala penyesalannya. Di balik pintu itu berdiri Jeno dengan senyum menenggelamkan. 

"Hai.." Buka lelaki itu mengusir kecanggungan yang tiba-tiba mendatang.

"Kenapa malah diem disini? Harusnya mah pencet bel biar aku bukain dari tadi." Lanjut Jeno sembari membuka pintu rumahnya lebih luas. Menyambut kedatangan perempuan itu dengan suka cita.

"Aku kira kamu ngibul." Jawaban lugu itu sontak membuat gelak tawa lalu manarik perempuan itu karena tidak segera mengikutinya masuk.

"Ngapain ngibulin cewek cantik? Kayak gak ada kerjaan banget." Katrine sadar dirinya terlahir cantik. Tapi tetap saja, mulut buaya duda harus di waspadai.

Setelah pertemuan mereka seminggu yang lalu, Katrine di buat terkejut dengan pesan teks dari lelaki itu. Entah dari mana Jeno mendapatkan nomernya tapi Katrine merasa tidak pernah memberikan nomernya pada orang asing. Kecuali Kylee.

Lelaki itu memintanya datang sore ini, cukup mengejutkan karena mereka tidak sedekat itu untuk saling menyambangi rumah. 

"Kylee mana?" Tanya Katrine saat tidak menemukan atensi anak tampan itu. 

Jeno menghela napas kecewa begitu melihat Katrine celinguk-an mencari keberadaan putranya. "Kate, gabisa ya fokus ke ayahnya aja?" Katrine mendongak menatapan bingung.

"Hah?" Raut wajah bingung itu terlihat lucu di mata Jeno. Demi Tuhan, jika saja perempuan di hadapannya ini adalah kekasihnya mungkin Jeno sudah menyerang sejak perempuan itu datang.

"Nggaak, Kay masih di atas lagi mandi." Ucap Jeno masih saja mengembangkan senyum. Lelaki itu yakin Katrine mendengarnya karena jarak mereka yang dekat.

Lelaki itu mempersilahkan Katrine untuk duduk. Di ruang keluarga yang terasa begitu nyaman. Sayangnya Katrine mampu merasakan perasaan hampa yang sepi nyenyat. Bukan hanya di ruang keluarga, bahkan sejak Jeno membuka pintu untuknya Katrine merasa rumah ini seperti ditinggal lama oleh pemiliknya. Sepi. Kosong. Dan hampa.

Rumah ini cukup besar untuk ditinggali dua orang. Rasa gemerlap lampu-lampu yang menerangi sorenya begitu nyilau. Seolah ingin membuat kehangatan untuk mencairkan sepi yang pemiliknya buat.

"Oh ya, ternyata kamu anaknya tante Sandra ya?" Cukup dengan penasarannya pada interior rumah ini, Katrine beralih pada Jeno yang memandangnya sejak tadi.

"Kemarin mama kamu ke toko, mau nawarin aku jadi sekertaris anaknya." Katrine masih tidak percaya. Lelaki yang duduk di hadapannya adalah seorang advokat muda, sudah berani mendirikan firma dan membimbing beberapa advokat baru. Prestasi yang cukup gemilang untuk lelaki semuda itu.

"Ah jadi beneran kamu ya?" Jeno terkekeh pelan. Dugaannya benar.

"Maksudnya?" 

"Mamaku bilang mau masukin anak temennya yang cantik, magister tapi malah milih buka toko bunga di jalan Jakarta. Ternyata benar Katrine Kaleena." 

Katrine sempat terkejut kala Jeno menyebut nama lengkapnya. Sejauh mana lelaki ini tahu tentang dirinya? Kenapa dunia sempit sekali. 

"Aku ngundang kamu ke rumah karena itu sih, gimana tertarik jadi sekertarisku?" 

Katrine diam tanpa menjawab. Ia kira untuk apa Jeno mengundangnya ke rumah, untuk makan malam? Besar sekali harapannya. Tapi sepertinya itu juga hanya alasan, lihat saja lelaki itu juga baru tau tentangnya kan.

Hi Dad! || Lee Jeno [e-book]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang