33

4.4K 376 9
                                    

Rasanya sungguh berbeda saat duduk bersama papa Katrine kali ini, biasanya mereka akan duduk di ruang lelaki paruh baya itu untuk mengobrolkan kasus sekedar minum kopi ditemani cerita kehidupan. 

Namun kali ini mereka duduk bersebelahan di teras rumah dan hanya dibatasi oleh meja bundar berukuran sedang. Di temani papan catur dengan beberapa pion yang sudah melangkah menuju lawan.

Sebenarnya keduanya tidak begitu mahir bermain catur, hanya tahu bagaimana aturan dan cara bermain. 

"Lama gak ketemu kok makin gagah gini, udah mulai enak ya hidupnya?" Tanya Mika saat menyadari perubahan laki-laki yang lebih muda darinya. Tubuhnya lebih berisi dari pada saat terakhir kali merek bertemu.

"Lah ini mah gara-gara saya dicintai sama Katrine, om." Jawab Jeno bangga. 

"Ada-ada aja, tapi emang kalau lagi jatuh cinta itu hidup bawaannya bahagia mulu."

"Nah itu om tahu, jadi Katrine boleh buat saya ya om?" Pinta Jeno.

Lelaki itu tersenyum saat berhasil menggeser satu pion milik lawannya. 

"Bawa aja, asal jangan kamu sakiti, jangan kamu duakan, jangan kamu tangiskan kecuali tangis bahagia, om percaya kamu laki-laki yang bertanggung jawab."

Mika tidak lagi tertarik pada permainannya, lelaki yang usianya sudah tidak lagi muda itu memilih untuk menyandarkan punggung dan mengalihkan seluruh atensinya pada Jeno. Kata percaya yang baru saja ia lontarkan bukan semata-mata karena ia menghormati pengacara muda itu, tapi karena Mika selalu memiliki pandangan berbeda tentang Jeno.

Bukan sebentar untuknya mengenal Jeno, bertahun-tahun mereka mengenal dan membicarakan banyak hal. Mika sangat paham bagaimana cara lelaki itu hidup, kepribadiannya yang ramah dan tutur kata yang selalu bisa membuatnya kagum. Itu menjadi satu alasan mengapa ia berani melepaskan putri yang paling ia cinta. Katrine adalah bahagianya dan Mika akan merelakan jika memang itu yang Katrine inginkan.

"Kenapa om percaya sama saya? Padahal kenalan om masih ada yang lebih baik dari saya."

Mika tertawa mendengar kerendahan itu. Justru harusnya ia yang bertanya, mengapa dari banyaknya perempuan di luar sana, harus Katrine yang diminta?

"Mencari yang terbaik dari yang paling itu tidak ada gunanya Jeno, sebab semua orang adalah baik. Manusia itu berbeda, tidak bisa disamakan, mungkin kamu memang bukan yang terbaik tapi apa saya tidak bisa berkaca jika Katrine juga bukanlah manusia paling baik di dunia."

"Saya tidak bisa memilih dengan siapa nanti putri saya akan bersanding, saya hanya orang tua yang memiliki kewajiban untuk membahagiakannya. Urusan perasaan, cinta dan kasih itu tanggung jawab dia, kalau memang dia bahagia sama kamu kenapa saya harus melarang?"

Teh yang dihantarkan dengan keadaan hangat kini tidak lagi hangat, cenderung dingin sebab udara malam. Tapi saat permukaan bibir Mika menyentuh permukaan gelas hangatnya masih tersisa.

Malam ini ia tidak akan berbicara banyak dengan Jeno, sebab separuh kehidupan lelaki itu Mika telah mengetahuinya. Ia tidak akan banyak bertanya tentang ini dan itu karena ia sudah mengenal Jeno seperti anaknya sendiri.

"Hanya satu permintaan saya, tolong jaga putri saya semampu kamu sebab selama ini luka selalu membersamainya." 

"Mama mama, lihat deh temenku habis foto studio sama keluarganya." Tunjuk Kylee pada Katrine yang kini berbaring di sebelahnya. Ada satu keluarga dengan dua anak laki-laki di foto itu, mereka tersenyum lebar ke arah kamera seolah menjadi keluarga yang paling bahagia.

"Aku pengen juga..." Katrine berangsur mendekat pada Kylee, meraih ponsel yang masih memperlihatkan foto keluarga itu.

"Selain foto keluarga, Kay mau apa lagi?" Di simpannya ponsel itu di nakas, kemudian menatap Kylee yang juga menatapnya.

Hi Dad! || Lee Jeno [e-book]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang