Jarum panjang kian mengikis jarak menuju tengah malam. Cakrawala semakin gencar menyunggingkan hitamnya nan kelam. Dan arena hiburan malam terus-menerus menarik minat para insan hingga mereka semua tenggelam.
Di bawah remang jalanan lapangan 226 Tanjung Priok, sang taruna tak mengindahkan rasa nyeri meskipun harus berjalan terseok-seok. Pikirannya masih melantunkan satu nama; Jia Aliana.
Pesan yang telah dikirim beberapa waktu lalu, tidak mendapat balasan apa pun kecuali tanda baca biru.
Bintang mendecih seraya menahan ngilu, apa hidupnya akan segera berakhir apabila perempuan itu-Jia-mempublikasikan fotonya saat melakukan itu dulu?
Ah nggak mungkin.
Tapi faktanya, ada banyak kemungkinan yang akan terjadi, bukan? Namun Bintang tak mau mencekoki kepalanya dengan sesuatu yang membuat sakit kepala.
"Oi!"
Pemuda itu menolehkan wajah, mendapati seorang pria dewasa berperawakan bak preman tengah memperhatikannya dari atas sampai bawah. Bintang diam saja, membiarkan pria di depannya melakukan apa pun sesukanya.
"Ada duit gak, Bocah?"
Huh, apa katanya? 'Bocah'?
"Gak pernah diajarin yang namanya kerja keras ya?"
Mata sang lawan seketika menyipit, serupa ingin memulai perkelahian sengit. Bintang mengutuki diri, lantaran nekat berada di area hitam Jakarta Utara di malam hari.
Nasi sudah menjadi bubur. Tak ada yang perlu disesali. Daripada terus bergumul di dalam kusutnya pikiran, akan lebih baik jika menyelesaikan pria dewasa tukang palak ini dulu.
"Anak kecil gak usah sok ngajarin. Sini, mana duit lu!" Sang preman mengepalkan tangan seiring gigi yang beradu menggeletuk, Bintang kembali merutuk, kenapa dirinya begitu sial sampai harus berurusan dengan manusia antah-berantah di malam suntuk.
Kedua netra hitam Bintang tak lekang mengikuti gerak-gerik pria di hadapannya, meski di kepala bergumul banyak kemungkinan disertai fakta bahwa raga pria itu dua kali lebih besar dari ia.
Tapi, apabila pria itu hanya mengandalkan otot bukan otak, tetap saja kalah telak.
"Lo mau duit?" Bintang melayangkan tanya sembari maju beberapa langkah, mata hitamnya segera menusuk kedua manik sang preman, mengalahkan dinginnya suasana yang kala itu hampir menuju pergantian hari.
Ujung bibir rival di depan Bintang tertarik, membentuk senyum aneh yang benar-benar mirip seperti tokoh antagonis di film.
"Kerja, Bego!" Tanpa aba-aba Bintang lantas menendang bagian vital bawah preman itu sampai tubuh besarnya luruh ke aspal akibat menahan sakit, untung kaki kanannya kini tidak terlalu nyeri daripada beberapa waktu lalu.
Bintang masih diam memperhatikan apa yang akan pria itu lakukan lagi. Ia berpikir, akan terlalu sulit bila menyerang bagian atas, alhasil Bintang lebih memilih mematahkan kaki atau paling tidak melumpuhkannya sementara lewat cara tadi.
"Kecil-kecil tenaga lo boleh juga, tapi-"
Bruk!!
Pria itu lagi-lagi tersungkur, namun kali ini diikuti darah yang mengalir dari sisi pelipis kanan.
Mata Bintang seketika melebar, di kepala berseliweran kalimat bahwa pria di depannya kini sudah tidak sadar, dan itu benar.
Keterkejutan Bintang tidak sampai di situ, di depannya kini sudah ada sang dara yang tengah diam membisu, dengan kedua tangan yang memegang sebuah balok besar kayu.
Sang dara itu ialah Jia Aliana.
──
"Bodoh! Lo itu bodoh! Ngapain lo ngelakuinnya hah?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Betelgeuse [FIN]
Romance[ACT IV of V Katarsis - Bintang Narandanu] Hidup Bintang Narandanu tak ubahnya mesin pekerja selama dua puluh empat tahun. Hanya berotasi antara Katarsis─band yang ia bangun selama enam tahun─dan berbagai jadwal entertaiment yang mengharuskan diriny...