18. Janji sepasang muda-mudi, yang memang diharuskan usai

108 53 139
                                    

Dalam dunia fotografi, ada namanya istilah saturasi.

Jika semakin tinggi tingkat saturasi sebuah warna, maka warna abu-abu kian sirna dan warna dasarnya akan tampak oleh netra. Begitu pun sebaliknya. Semakin rendah tingkat saturasi, semakin gencar pula lah kelabu 'tuk menginvasi.

Jia kerap menganggap tiap hari dalam buana ialah sekumpulan foto dengan sang surya serta dewi malam sebagai tingkat saturasi. Apabila mentari dari ufuk timur tiba menyapa Bumi, semesta 'kan berada dalam saturasi tertinggi. Sedang andaikata gulita telah memeluk tiap jiwa pada pertiwi, itu artinya kelabu sudah mengambil alih panggung hingga secercah binar baskara pun tak terlihat lagi.

Namun entah mengapa, malam kali ini terasa begitu kelam daripada sebelumnya.

Meski kunang-kunang raksasa serta pendarnya tak lekang 'tuk mengabdi pada pinggiran jalan Ibu Kota. Walau jalanan masih disesaki oleh muka-muka lelah dan gerundel kesal para budak korporat sepulang bekerja. Dan, kendati musik asing yang menjejali rungu kedua insan itu sedari tadi, tetap saja Jia merasa ia berada dalam dekap sang sunyi.

Bintang enggan mengutarakan kata, bahkan tak menimpali kala Jia bertanya perihal ke mana hadirnya lima hari lalu. Pemuda itu kembali menjadi persona yang ia kenal beberapa bulan lalu, datar, hingga memicu bergumulnya sejuta tanya di kepala.

Meski kedua manik sang pemuda berpaku pada jalanan, akan tetapi pikirannya justru sibuk berputar tanpa tujuan. Banyak kalimat yang bersarang, mereka melayang-layang, menggemakan seruan jika empunya raga harus menyuarakan kalimat itu sekarang.

Akan tetapi, bibir Bintang kelu 'tuk bertutur kata. Lebih-lebih, sekadar mengerling mata barang sejenak pun ia tidak bisa.

Bintang digerayangi banyak rasa takut; terutama rasa takut akan kehilangan.

Dibalik ruang imajinasi Jia yang tengah menyusun tanya sebaik mungkin perihal keanehan pemuda itu sedari tadi, maka isi kepala Bintang memilih mengubur sementara kalimat yang telah tersusun apik di memori, sembari memberi sang pemudi afeksi terakhir sebelum semuanya benar-benar usai.

Ia telah terlalu banyak menyusahkan Jia sejak pertemuan pertama mereka, jadi di malam terakhir ini, ia akan berusaha memenuhi semua apa yang gadis itu pinta.

Setidaknya itu cukup untuk menutupi semua duka, yang mungkin nanti akan tertoreh di hati Jia.

Wajah dara berusia dua puluh dua tahun itu kembali menoleh pada jendela, menatap ke arah kedai-kedai pinggir jalan yang menyala lantaran dihujani oleh cahaya, serta kepada para jiwa yang dari rona muka tampak sedang diliputi suka cita.

Gadis itu terlalu tenggelam dalam buana semunya, sampai tak menyadari apabila atensi sang taruna di sampingnya telah jatuh pada dirinya.

Alih-alih mengungkapkan kalimat yang sudah diramu apik oleh kepala, bibir Bintang tetap membisu meski kini ruang pikirnya hiruk-pikuk menyuarakan betapa pengecutnya sang empunya raga.

Iya, ia akui dirinya memang teramat pengecut sebagai seorang pemuda. Bukan tanpa alasan sebenarnya, sebab Bintang sendiri tak pernah diajari bagaimana mengekspresikan perasaan lewat perkataan.

Seumur hidupnya ia tidak pernah mendapat pertanyaan 'bagaimana harimu?' atau 'apa kamu bahagia hari ini?', tidak sama sekali.

Bintang hanya disuruh patuh, selain itu, tidak ada yang akan peduli.

Orang-orang itu tak peduli seberapa banyak luka yang mereka tempa padanya. Tak peduli seberapa banyak air matanya untuk menutupi semua duka. Dan, tak peduli seberapa banyak botol obat dari psikiater yang ia habiskan 'tuk terbebas dari semuanya.

Yang mereka pikirkan hanya, mereka bisa memanfaatkan Bintang dengan sebaik-baiknya, tanpa acuh seberapa hancurnya ia karenanya.

Bintang kembali memantapkan diri, seraya diikuti lantunan do'a di dalam sanubari, ia mencoba mengutarakan kalimat 'tuk yang pertama kali.

Betelgeuse [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang