21. Di bawah rona jingga, janji mereka kembali mengudara

110 37 103
                                    

Sejatinya temali takdir setiap jiwa memang sukar 'tuk diterka.

Kita tak pernah bisa menduga apa yang akan terjadi esok hari, atau bahkan beberapa jam lagi, sebab setiap menit dan detik di Bumi itu serupa teka-teki yang menarik juga pelik untuk diurai.

Sering kali melangitkan asa baik kepada Tuhan yang berisikan semoga sepanjang hari terhindar oleh hal-hal memicu air mata, akan tetapi seperti biasa, entah semesta yang gemar bercanda atau Tuhan yang kerap menunda harap kita 'tuk sementara, genangan air dari netra itu selalu menemani ke mana pun langkah kita.

Begitu pula dengan rasa. Semua manusia memilikinya, tetapi hanya segelintir yang tahu bagaimana mengutarakannya.

Segelintir insan kerap berkata, jikalau melukiskan rasa lewat kata-kata jauh lebih mudah daripada memberi titah kepada seluruh raga 'tuk mengekspresikannya.

Jia pun turut mengamini.

Baginya, lebih sulit mengutarakan sebuah rasa kepada seseorang dengan cara saling bersua alih-alih lewat lini maya.

Jia pikir, selepas ia mengatakan kalimat yang mewakili apa yang ia rasakan tiga minggu lalu semuanya akan tetap sama, atau baiknya, ia mendapat balasan selaras yang akan hinggap di telinga.

Namun pemudi itu lupa, jika mereka berdua sedari dulu memang tak sama.

Serupa cakrawala yang menjadi kanvas Tuhan melukiskan hal indah di atas lanskapnya, serta pertiwi tempat Tuhan kerap menitipkan lara, begitu lah bentang semu yang memisahkan keduanya.

Bintang adalah bumantara, sedang Jia sendiri ialah buana, dan mereka tidak akan pernah bisa bersama.

Seiring semburat lembayung yang melintang membelah angkasa Jakarta, tungkai Jia pun turut mengarungi jalanan ibu kota dengan asa yang tak bersisa di dalam sukma.

Ia pikir, segalanya akan baik-baik saja apabila hadirnya Bintang telah telanjur pergi, dan nyatanya memang seperti ini.

Bumi masih berotasi. Sang surya acap kali mengecup setiap daksa lewat binarnya di kala pagi menyambangi. Dewi malam tetap setia memeluk sukma-sukma lelah dalam sunyi. Orang-orang masih beraktivitas seakan di sekitar mereka tak ada sesuatu hal yang terjadi. Hanya Jia yang tidak menerbitkan kurva tipis bibirnya lagi.

Jia sadar ia bukan siapa-siapa di luasnya semesta.

Meski ia kehilangan orang yang menurutnya paling berharga, dunia akan tetap berjalan sebagaimana mestinya, seakan hal itu benar-benar tak layak 'tuk dirayakan oleh air mata seluruh manusia di atas semesta.

Bagi dunia ia hanya seorang jiwa, tidak lebih dari itu.

Lamat-lamat suara koak burung camar merasuk ke dalam rungu sang dara, wajahnya lantas mendongak menatap cakrawala yang riuh sebab kerumunan makhluk penguasa angin itu tengah memamerkan formasi mereka pada manusia di bawah sana, teramat indah hingga rasanya Jia hendak turut merekahkan kepak 'tuk menuju angkasa.

Sepasang kakinya terhenti, kepalanya seketika celingukan kala tempatnya berpijak kini sungguh sepi. Ia pula baru menyadari jika daksanya telah begitu jauh meninggalkan indekosnya, lebih tepatnya, ia berada di pelabuhan Tanjung Priok.

Roll film ruang imaji perihal kenangan yang terpatri di sini terputar lagi, tentangnya dan Bintang yang menjalin janji semu namun sayang telah diharuskan usai.

Memang, setiap tempat yang ada di dunia kerap tersemat sekelumit kisah yang mungkin bahagia, akan tetapi ada pula yang terselubung lara di dalamnya.

Langkah pemudi itu kembali berderap sembari gemuruh sanubari yang melanglang 'kan pinta, secercah kalimat fana di kepala pun kian bersarang, salahkah ia berharap andaikata ia dapat kembali dipertemukan dengan Bintang?

Betelgeuse [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang