14. Paradigma perihal semesta sang taruna

141 67 176
                                    

Ruangan yang aku diami telah sepenuhnya sepi, dan aku kembali seorang diri, bersama foto yang entah sudah kulihat berapa kali.

Di foto itu hanya ada aku sendiri, dengan mata hitam yang seakan hendak menelan diri ini. Aku bergidik sembari bertanya entah kepada siapa, apa mataku memang sebegini menyeramkannya?

Rendra yang memberikan foto ini padaku, katanya sudah sampai berhari-hari lalu, tapi aku amat mengenal pribadinya yang kerap melupakan hal kecil sesederhana di mana letak sapu, jadi aku mengangguk saja kala pemuda itu menyodorkan amplop cokelat berisi foto ini seraya meminta maaf dengan muka tertunduk lesu.

"Lho, nggak beli makan?"

Panjang umur.

Orang yang sedari tadi mendominasi ruang imaji tiba bersamaan tangan memegangi kotak styrofoam—aku bisa menebak kalau itu isinya bubur ayam, ia menarik kursi plastik mendekat padaku lalu mendudukkan diri sambil sesekali bergerak mencari posisi ternyaman.

"Bukannya gue liat elo tadi masih antre di kedai toast depan, kok udah sampai aja? Terus mana makanannya?" tanya Rendra bertubi-tubi seperti biasa, sebab bingung harus menjawab apa, aku hanya mengangkat bahu sebagai jawabannya.

Jika aku menjawab jujur pada Rendra, pasti pemuda itu 'kan memunculkan sederet tanya lain yang memicu pening kepala.

Kami berdua lagi-lagi berselimut hening dengan gemuruh imajinasi yang menginvasi kepala masing-masing, aku menatap lagi ke dalam kelamnya sepasang netra milikku di foto, sampai Rendra-yang mulutnya masih dipenuhi bubur-menyuarakan tanya guna mengusik sunyi.

"Sori, tadi Amanda kenapa deh? Aneh banget tau, tiba-tiba minta ke elo kenalin dia ke Pak Kevin," tanyanya dengan atensi tak beralih dari makanannya sedikit pun, entah kenapa saat mendengar nama perempuan itu disebut rasanya begitu memuakkan, bahkan jika dipikir aku pun enggan berada satu ruangan dengannya.

Mengingat hal itu, aku kembali mengingat sesuatu.

Apabila tidak salah, aku sempat beradu mulut dengan perempuan itu hingga emosinya lebih mendominasi daripada diriku. Dan tidak salah pula, Jia melihatnya.

Meski sangsi hendak menudingnya telah mencuri dengar obrolan kami, tapi aku tak bisa berkutik kala netra cokelatnya dengan beraninya menusuk langsung ke dalam sepasang mataku.

Kedua manik yang kurang ajar menatapku seakan memiliki jiwa, serupa ingin berkata namun aku tak sempat menafsirkannya.

Aku harap Jia dapat tutup mulut mengenai apa yang ia dengar dari mulutku.

"Gak tau, peduli amat. Kayak gak tau aja, udah jadi rahasia umum kita 'kan kalau mau sukses, minimal bisa menjilat orang yang di atas kita," jawabku malas seraya memaparkan fakta, temanku itu mendongak sebentar, kedua matanya berkedip dua kali bersama ekspresi mati kutu yang kerap ia tunjukkan setiap kali merasa lawan bicaranya benar.

Rendra tidak bertanya lagi, aku menghembuskan napas dalam meski harus kembali dibelenggu sunyi. Ruang imajiku kini riuhnya bukan main, mengudarakan kalimat yang jika dapat didengar mungkin akan bernada dingin, kalimat itu berlalu-lalang bak angin, setia terpatri di sana walau tahu itu sanggup meruntuhkan batin.

Kalimat tadi yang aku lontarkan kepada Rendra, memang benar adanya.

Aku mencoba realistis di sini, cara apa lagi yang mampu dilakukan orang-orang 'tuk mencapai tempat tertinggi selain menggunakan kemampuan sendiri? Iya, menjilat orang penting atau yang derajatnya lebih tinggi dari mereka.

Orang awam seringkali beranggapan bahwa dunia yang aku diami kini ialah semesta yang sempurna; penuh warna, acap kali mendapat banyak cinta, serta dengan mudah menjadi kaya.

Betelgeuse [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang