Manusia itu tak ubahnya serupa kumpulan awan yang menginvasi sebagian besar lanskap bumantara.
Mereka bisa saling bergumul ramai, namun sedetik dapat kembali tercerai-berai. Mereka dengan mudah menjadi satu, namun tak jarang saling memicu seteru.
Aku kerap tak dapat meraba apa yang para jiwa rasa, sebab perasaan mereka acap kali berubah seakan langit di atas sana. Bisa saja sekarang senyum sang surya merekah indah, akan tetapi kita tidak tahu apa yang terjadi dua jam mendatang. Apa mentari masih berbinar bahagia, atau panggung cakrawala diinvasi koloni badai yang hendak meluluhlantakkan isi Jakarta.
Siang ini sang pusat tata surya tengah berbaik hati 'tuk melarang timbulnya para kelabu barang sekelumit pun, hingga dapat ku lihat roman muka senang manusia yang senangnya minta ampun.
Jika aku dapat memilih cuaca 'tuk hari ini, besar kemungkinan aku 'kan menyebut berawan atau hujan, sebab aku tidak terlalu senang akan keberadaan matahari di atas kepala.
Bukan aku membenci perihal eksistensi mentari, namun aku tak suka lantaran peluh yang kerap membentuk koloni seenak hati di pori-pori terlebih area dahi.
Aku menyangga dagu dengan tangan kiri, memerhatikan orang-orang di depan indekos yang menyiratkan beragam ekspresi. Entah ke mana keberadaan anak-anak yang biasa bermain kala siang menjelang, akan tetapi aku diam-diam melantunkan syukur, karena tengah hariku bisa jauh lebih tenang daripada hari-hari sebelumnya.
Sudah jadi rahasia umum apabila anak-anak—terlebih umur kisaran tiga sampai lima—itu ialah waktu manusia aktif-aktifnya. Mereka bermain tak kenal waktu, bahkan sampai masjid mengumandangkan adzan maghrib—dan para ibu akan menjemput anak mereka dengan tangan mengacungkan sendal sembari berekspresi marah—pun semangatnya enggan surut.
Aku tidak ingat masa kecilku bagaimana, sebab ingatan itu tiba-tiba saja sirna entah ke mana. Aku tidak ingat pula bagaimana rupa Ibu atau Ayahku, karena aku kehilangan mereka sebelum aku mampu mematri memori.
Kehidupanku seringkali berpindah dari satu tempat ke satu tempat lainnya, sudah serupa barang turun temurun yang diwariskan ke anak cucu.
Tidak ada memori baik yang terpatri apik di sanubari, namun bukan berarti selama ini kehidupanku dipenuhi rasa benci, aku hanya ... tidak bisa mengingatnya, mungkin.
Suara mendesis dari dapur segera merasuk ke runguku, jiwaku kembali dari tempat ruang imaji semu, ah aku baru teringat jika aku tadi merebus air berisi mi instan beberapa menit lalu.
Seiring langkahku mengikis jarak menuju dapur, lamat-lamat telingaku menangkap adu seteru dari balik dinding indekos, tampaknya itu Mbak Aya dengan Bu Padma yang memang telah lama tidak akur.
Penyebabnya? Entah lah, tidak baik mengurusi kehidupan orang lain.
Sementara jemariku sibuk meramu bumbu mi yang aroma enaknya perlahan menguar memecah di udara, mataku tak sengaja menatap kalender yang tergantung tepat di tengah antara kulkas serta jendela, lalu isi kepalaku seakan berbunyi 'ting!' kala netraku terfokus pada tanggal dua.
Aku lupa membayar kamar indekos pada Bu Padma.
Selagi mencuri dengar topik debat Mbak Aya dengan Bu Padma, aku kembali ke tempat peraduan semula sembari kedua tangan memegangi mangkuk merah berbahan porselen berisi mi instan kuah beraroma kari yang kuat.
Cacing di perutku lantas berseru senang karena akan diisi oleh makanan khas anak kos saat akhir bulan.
Ah betapa menyedihkannya mahasiswa semester akhir yang berada di masa krisis akhir bulan.
Dentingan garpu serta sendok turut meramaikan keadaan siang yang panasnya bukan main ini, memang salah sebenarnya makan mi kuah di tengah sang surya yang terus berbinar dengan rasa abai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Betelgeuse [FIN]
Dragoste[ACT IV of V Katarsis - Bintang Narandanu] Hidup Bintang Narandanu tak ubahnya mesin pekerja selama dua puluh empat tahun. Hanya berotasi antara Katarsis─band yang ia bangun selama enam tahun─dan berbagai jadwal entertaiment yang mengharuskan diriny...