17. Tak ada harapan lagi 'tuk berlari

179 59 176
                                    

Trigger Warning//violence, emotional abuse, feeling useless, blood, mentioned of death

Tolong bijak ya!

──

Kepalaku berdenyut, seiring darah serta rasa takut yang berotasi menjadi kemelut. Tubuhku sepenuhnya remuk, atau mungkin telah tak berbentuk. Jiwaku sejenak hendak melanglang menuju nirwana, namun pria itu tentu tidak membiarkanku pergi begitu saja.

Sekarang hari apa? Sudah pukul berapa?

Aku benar-benar lupa.

Sejak orang suruhan Papa menemukanku, aku sudah lupa apa yang terjadi di dunia luar maupun diriku. Aku seolah terkena amnesia, padahal jelas-jelas aku sehat sebagaimana adanya.

Di sini sungguh dingin, lalu ... kenapa lantai di sini ada bercak darah?

Aku perlahan memegangi area pelipis, kulit telapak tanganku bersentuhan langsung dengan luka menganga hingga mulutku sedikit mendesis, rasanya sangat sakit dan bercampur aroma darah yang amis.

Ragaku tak bisa digerakkan, nyaris tidak bisa barang satu senti pun. Perutku mati rasa, lalu kemudian ruang imajiku memutar bagaimana indahnya kehidupan setelah kematian tiba.

Apa sebegini menyakitkannya 'tuk terbebas dari belenggu semu yang mengikatku dari dunia.

Runguku menangkap suara decit pintu yang merambat memecah sunyi, pria itu datang lagi, dengan sesuatu yang berbeda di tangan kiri. Kala sepasang netraku hendak memicing, namun terlambat sebab suara tanya bernada santai telah menusuk telinga dengan ragaku yang tak bergeming.

"Bintang, sudah bangun?" tanyanya, bayang-bayang itu perlahan padu hingga dapat kulihat jelas sosok aslinya, Papa.

Langkah sepatunya menggema ke seantero ruangan, yang amat aku kenali sebab tempat ini ialah kamarku sendiri. Dengan tubuh yang tertelungkup, aku berusaha menahan kedua manik agar tidak mengatup, meski sejujurnya penglihatanku kini sudah hampir redup.

Ia berhenti tepat di depan kamar mandi, dan baru lah aku sadari bahwa apa yang di tangan kiri ialah sebuah ikat pinggang berbahan kulit.

"Kenapa kamu masih hidup, Bintang? Padahal saya sudah menyiksa kamu selama dua hari."

Ia mendekat padaku, berjongkok lalu menarik kerah kemejaku. Kami bertemu tatap selama beberapa detik, dan kemudian ia menampar pipi kiriku sembari mengudarakan kalimat berbunyi hardik.

"Kenapa anak gak berguna kayak kamu masih hidup?!" Perkataan itu menjejaki setiap sudut ruang sunyi, pun turut berjejal ke dalam sanubari, seberapa kerasnya aku mengusir tiap-tiap frasa yang mengikis afeksi, tetap saja ujungnya hanya tindakan tak berarti.

Sejenak khayalku bertanya, dan labiumku merasa gatal 'tuk melontarkannya, apa benar aku setidak berguna itu kepadanya?

Ia melepas cengkeramannya, tidak, lebih tepatnya melempar tubuhku dengan keras ke dinginnya lantai. Rasanya sakit sekali, sampai rasanya seluruh air mata hendak tumpah sebab menahan nyeri. Namun kembali lagi, laki-laki itu pantang menangis.

Pantang bagiku menunjukkan air mata, terlebih di depan Papa.

Ia berdiri seraya memandangiku dengan tatapan seakan aku manusia paling hina di dunia, ikat pinggang itu berpindah ke tangan kanan, lalu kepalaku yang cerdas ini jauh berpikir lebih dulu, dan memprediksi jika sebentar lagi punggungku akan penuh dengan memar merah karena benda itu.

"Dasar anak tidak tahu diri!"

Pecutan pertama, rasanya tetap menyakitkan seperti kala awal benda itu menyapa kulit punggungku waktu dulu saat aku berumur delapan tahun.

Betelgeuse [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang