31. Jiwanya telah ditelan oleh gulita

106 31 77
                                    

Trigger Warning//suicide.

Harap bijak ya!

──

Sedari belia aku kerap dilontarkan pertanyaan 'ingin hadiah apa?' oleh bibi saat hari ulang tahunku tiba.

Serupa anak kecil pada umumnya, aku selalu suka apa pun yang berbau merah muda; entah itu tas Barbie model terbaru yang acap kali dibicarakan teman perempuanku di kala makan siang, atau boneka yang seringkali netraku tangkap di depan toko saat perjalanan pulang.

Namun mengingat jika aku hanya menumpang di rumah bibi, aku sering sungkan tatkala beliau menanyakan itu dan lebih memilih memendam alih-alih mengutarakan kehendak diri.

Lagi pula, siapa aku yang bebas mengudarakan pinta? Bisa-bisa para sepupuku menaruh tidak suka karenanya.

Dengan telapak tangan yang memangku dagu, sepasang manik mataku tak lekang menatap satu persatu manusia yang hilir mudik seraya menajamkan rungu. Aku senang mendengar suara, apa pun itu yang menyapa telinga, aku menyukainya.

Suara es batu yang saling beradu sebab hendak mencair akhirnya mampu menarik jiwaku kembali ke realita, aku menoleh sejenak lalu beralih menatap cakrawala, mendapati sang surya menyembunyikan diri di balik para kelabu yang mengambil alih panggungnya.

Hujan sebentar lagi akan tiba.

Aku berdiri selepas ingat telah membayar minuman dan kemudian memberi titah pada sepasang tungkai 'tuk kembali melanglang entah ke mana, tetapi yang pasti harus menghindari amunisi air mata cakrawala yang sebentar lagi 'kan meluluhlantakkan isi Jakarta.

Ruang imajiku masih riuh lantaran belum menemukan hadiah yang sesuai untuk Bintang. Namun sekali lagi kepalaku merangkai sebuah tanya, "Apa sesuatu yang Bintang suka?"

Pagi tadi aku bertanya pada Nebula seraya dada yang memuat asa jika gadis itu memiliki setidaknya satu ide berguna, namun sayang sia-sia, ia justru membalas dengan kalimat tanya berderet pula.

Nebula
Ih cowok siapa? Pacar lo ya? Cie akhirnya temen gue gak jomblo lagi

Aku pindah tujuan bertanya ke Yudistira, untungnya pemuda itu sedikit normal daripada Nebula. Ia membalas dengan dua bait kalimat yang bermuara pada tanya menyelidik seperti temanku sebelumnya.

Yudistira
Hmm cowok sih biasanya parfum
Atau nggak kaos
Tapi yang penting mah niatnya
Ucapan juga udah cukup kalau lo bener-bener niat ngucapin dari hati
Eh tunggu
Ini buat siapa?
Cowok lo ya?
Lo punya cowok???

Tanpa membalas pesan terakhir mereka, aku kembali bersemuka dengan dunia meski nyatanya aku malas luar biasa. Kakiku melangkah entah ke mana, menyusuri setiap bagian Jakarta, hanya untuk mencari sesuatu yang disebut hadiah 'tuk diberikan kepada Bintang di hari ulang tahunnya.

Malam ini. Waktuku tinggal beberapa jam lagi.

Seiring sepasang kakiku tetap melangkah di atas pertiwi, berbagai kosakata berupa opsi turut menggerayangi ruang imaji. Hadiah apa yang Bintang harapkan? Apa dia suka parfum seperti yang Yudistira katakan? Jika iya, apa namanya?

Lalu ragaku terhenti, baris keempat pesan Yudistira lantas mendistraksi, menjadi pusat atensi di dalam imaji.

Ucapan juga udah cukup kalau lo bener-bener niat ngucapin dari hati

Apa afirmasi itu benar adanya, atau hanya sepenggal kalimat tanpa arti apa-apa?

Bilik kepala kembali memutar ingatan tempo hari, perihal Bintang yang memintaku 'tuk cukup menemani tanpa menyiratkan pinta apa-apa lagi.

Betelgeuse [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang