O5. Selamat datang, wahai jiwa yang malang

329 164 299
                                    

Kini Jakarta telah sepenuhnya berpeluk dengan gulita.

Lampu-lampu perkotaan bergantian saling mengisi cahaya tiap selang beberapa jengkal. Mengubah Ibu kota yang semula bermandikan binar sang pusat tata surya, menjadi daratan yang serupa tengah diinvasi para kunang-kunang raksasa.

Mereka beraneka warna, tak hanya kuning menyala, dan mereka ada di mana-mana.

Jakarta tak pernah mati walau cakrawala menurunkan tirai kelabu. Meski kadang gerimis harus menggusur manusia yang berada di atas pertiwi, namun mereka justru dapat dengan cepat menemukan tempat baru dan beradaptasi.

Di balik dinginnya kaca di sebuah bar pinggiran Jakarta, aku kerap kali berkaca pada bulir-bulir sisa tangis semesta, apa berada di bawah rinai hujan jauh lebih menyenangkan daripada diguyur sendiri oleh Papa?

Sekali lagi aku menoleh ke arah kaca, mendapati kehidupan yang berbanding jauh dengan tempatku berada. Daerah pemukiman warga yang lebih didominasi golongan berkekurangan, akan tetapi mereka malah tak pernah surut melukiskan senyuman.

"Bintang!"

Suara perempuan. Suara itu memanggilku. Yang seketika menarikku dari dunia semu.

Empat orang perempuan datang memenuhi kursi kosong di meja kami, semuanya rata-rata berumur kisaran belasan, begitu yang aku perkirakan.

"Nah akhirnya datang. Biar gue perkenalkan, mereka Aerial, grup cewek yang nanti bakal debut di agensi kita," ujar Adriel bersemangat, aku menduga dia termasuk salah satu yang menyiapkan persoalan grup baru itu.

"Bintang, katanya lo temennya Amanda, ya?" tanya Adriel tiba-tiba kepadaku, aku terdiam sembari diselimuti rasa ragu.

Amanda ... siapa?

"... Siapa?" Suaraku terdengar lebih parau, mungkin akibat terlalu menggebu-gebu saat tampil beberapa jam lalu.

"Walah, pikun dini dia," sahut Darrel dengan muka yang sepenuhnya merah, efek kebanyakan meneguk minuman beralkohol.

Adriel tidak menjawab pertanyaanku, ia justru asyik menggoda bahkan tak segan menyentuh dua perempuan tadi.

Perutku mendadak tidak enak, seakan isinya telah diacak-acak.

Aku ingin segera keluar dari sini.

"Ah Bintang, lo pasti pura-pura 'kan gak ingat gue?" Salah seorang perempuan berpakaian minim seketika duduk di atas pahaku, kedua lengannya mengalungi leherku.

Rasanya geli, sebab aku tidak pernah berada dalam situasi semacam ini.

Perempuan ini, sebenarnya apa maunya, sih?

"Pergi," lirihnya suaraku menyulut ragu dalam sanubari, entah perempuan ini mendengar apa yang aku utarakan tadi.

"Eh? Masa gue pergi, sih? Kita 'kan belum seneng-seneng," ucap perempuan itu, nada bicaranya mulai melantur lantaran habis meneguk secangkir wiski.

Toleransi perempuan ini dengan alkohol sangat amat rendah.

"Coba, secangkir aja." Ia menyodorkan whiskey glass yang sudah berisi beberapa mili wiski di dalamnya.

Seumur hidup aku tak pernah menyentuh minuman itu, bahkan sudah berikrar tidak akan pernah sedikit pun mencicipinya.

"Gue gak minum," tolakku mencoba sehalus mungkin, tentu sangat menyusahkan apabila emosi terlalu mengikatku, terlebih aku sekarang lupa membawa mood stabilizer milikku.

"Ah elo tetap kayak dulu ternyata, ngebosenin. Ayolah-"

"Lo gak denger apa gimana? Gue gak bisa minum! Lagian gue gak suka disentuh sama elo. Pergi sana!" Aku berteriak hingga seisi bar mengarahkan atensi kepadaku, kedua tanganku mengepal sembari bergetar hebat, emosiku sebentar lagi 'kan meledak.

Betelgeuse [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang