22. Asa yang tersemat di dada, kini sirna tanpa sisa

98 34 98
                                    

Jiwaku kerap memikirkan ini di dalam bilik kepala, jikalau tiap-tiap insan yang berpijak di atas mayapada, akan ada waktunya tersendiri 'tuk menunjukkan cahayanya kepada dunia.

Entah itu kala mereka berada di masa remaja; saat kepala dua; atau kepala tiga; serta seterusnya.

Waktu semesta tidak bisa diraba oleh manusia, sebab mereka pelik selayaknya Tuhan menciptakan mereka. Kadang andaikan kita mengira ini, maka bisa saja hal di luar duga yang terjadi.

Aku juga tak dapat menyangka, apabila aku telah berpijak di atas semesta selama dua puluh dua tahun lamanya.

Sudah berapa tahun aku berjuang seorang diri? Sudah berapa banyak derita yang aku lalui? Dan sudah berapa banyak air mata di kedua pipi yang turut menemani?

Jawabannya mungkin tak terhingga.

Kadang setiap malam hendak memelukku dalam buai mimpi, aku kerap melantunkan kalimat yang berbunyi. "Kamu hebat sudah bertahan hari ini."

Terdengar sederhana, sebenarnya, tapi tidak ada salahnya sesekali memuji diri sendiri atas apa yang telah dilalui.

Lalu kala binar sang surya menyelinap di antara kisi-kisi ventilasi, hingga mau tak mau aku memutus temali menuju mimpi, sebait frasa lantas tersemat di ruang sanubari.

"Ayo berjuang lagi hari ini."

Meski sering kali tak sesuai ekspektasi, akan tetapi aku meyakini jika Tuhan akan membalasnya di kemudian hari.

Sekali lagi, aku menilik ke arah arloji yang melingkar di hasta sebelah kiri. Hampir pukul sepuluh. Namun, tiga orang yang namanya sedari tadi mengerumuni ruang imaji tidak kunjung menunjukkan eksistensi, barang derap langkah sepatunya pun tak dapat runguku tangkap.

Gemuruh serupa ombak sore waktu itu kian terdengar riuh di dalam dada, lalu bersilih perut yang rasanya mulas tidak terkira, kebiasaanku jika rasa gugup tiba-tiba melanda.

Perlahan kepalaku bersandar pada dinding, kedua mataku bertubrukan langsung dengan langit-langit koridor yang seluruhnya berwarna putih gading. Ruang imajiku melanglang tanpa tuju, begitu pula bibirku yang benar-benar telah membisu.

Tak ada yang menjadi lawan bicara, bahkan  setiap aksara nan hendak diramu menjadi kata pun seakan sirna di udara. Alih-alih memikirkan itu sekarang, sukmaku jauh terlebih dulu digerayangi oleh perasaan gamang.

Baris-baris kalimat berkonotasi cela berterbangan di kepala, bagai mendung yang kian menyelubungi jiwa dengan bait demi bait kata tak bermakna, akan tetapi sukses memadamkan gelora semangatku yang sedari tadi sudah membara.

Apa semuanya akan lancar sesuai perkiraanku? Apa aku bisa melalui ini semua? Apa aku bisa lulus tepat waktu? Atau justru aku akan mengulang lagi di tahun mendatang?

Semua tanya itu berkerumun di kepala, membentuk koloni hingga berujung menjadi badai yang memporak-porandakan satu sukma.

Mungkin air mukaku terlihat biasa, tapi jujur saja, rongga sanubari serta bilik imajiku kini ingar-bingar serupa keramaian ibu kota.

Nama-nama yang silih berganti dipanggil dari ruangan sana, semakin memicu deru gugup yang menggema ke seantero dada.

Kapan giliranku akan tiba ... ya?

"Jia!"

Kala namaku disebut oleh suara yang aku kenali, atensiku lantas beralih tertuju pada sumber bunyi; ada Nebula yang ternyata seorang diri.

Gadis itu melambai-lambai padaku selaras dengan derap sepatu pantofel yang mengisi seantero koridor, hingga mau tidak mau menarik semua mata yang berada di sekitar sini.

Betelgeuse [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang