19. Hari-hari yang berlalu, tak ubahnya awan kelabu

124 54 144
                                    

Sudah berapa hari aku mengurung diriku sendiri di sini?

Selepas kalimat rancu Bintang serta berakhirnya perjanjian kami dua minggu lalu, kata-kata yang terlontar dari bibirnya seakan betah bersarang di ruang imajiku. Kian menggema mengisi sudut-sudut bilik kepala, hingga rasanya otakku begitu sesak karenanya.

Benda digital di tanganku berdering lagi, kali ini nama Yudistira yang terpampang diiringi pesan berderet dari pemudi yang tak lain ialah Nebula. Aku mengerling seraya memutar bola mata, enggan mengangkat meski aku tahu kedua temanku itu tengah dilanda khawatir luar biasa.

Rasanya aku telah kehilangan asa, bahkan 'tuk sekadar membuka netra kala binar mentari yang menyelinap jatuh ke mukaku pun aku tak memiliki tenaga. Semuanya sirna, bahkan sukmaku serasa turut meninggalkan daksa.

Waktu dulu aku kerap meledek Nebula yang sering kali curhat perihal kisah asmaranya, entah itu berakhir bahagia, tapi lebih banyaknya ia yang dijadikan sebagai tempat pelarian belaka.

Tiap bulan setidaknya ada dua kisah yang gadis itu ceritakan pada kami, dan keduanya pula lah yang memicu pecahnya emosiku juga Yudistira.

Bagaimana tidak? Alurnya pasti sama. Nebula didekati seorang pemuda, mulai pendekatan selama beberapa lama, dan kemudian ketahuan jika sang pemuda masih menjalin hubungan dengan wanita lain di luar sana.

Sederhananya, pemuda itu hanya memanfaatkan kebaikan serta cinta dari Nebula.

Yudistira berkata, "Makanya, udah gue bilang 'kan dulu-dulu, cari tau dulu sampai tetek bengeknya tuh cowok, ujungnya begini 'kan?"

Aku yang tidak punya pengalaman akan dunia romansa pun hanya bisa mengangguk setuju terhadap ucapan Yudistira. Namun, perkataan Nebula lantas menjadi momok yang kini menggerayangi isi kepala.

"Lo berdua cuma bisa bilang begitu, coba nanti rasain sendiri gimana sakitnya patah hati."

Sakitnya patah hati, kalimat itu terus menghantui sampai rasanya ia telah terpatri di memori.

Entah bagaimana, hal itu serupa karma, sebab aku tak pernah mengira jikalau patah hati memang sebegini sakitnya.

Aku kembali menatap layar ponsel yang akhirnya dapat diam selepas sedari tadi ramai oleh notifikasi dari kedua temanku. Sudah pukul sebelas. Hampir jam makan siang. Tapi aku tidak ada niatan 'tuk mengisi perut barang sedikit pun.

Wajahku berpaling menatap langit-langit kamar, tampak kelabu yang sama halnya dengan diriku yang berpeluk pada awan kelabu serta roman wajah yang nanar.

Selama dua minggu ini, tak ada lagi pesan bernada titah atau ketus yang mengisi barisan ruang obrol maya ponselku. Meski aku mengaku apabila kerap tersulut emosi karenanya, akan tetapi aku tidak menampik juga, jika di dalam sanubari aku sering merapalkan harapan baik kepada Tuhan untuknya.

Bintang Narandanu, pemuda yang bisa dibilang hadirnya baru menorehkan sekelumit kisah di kehidupanku. Namun selaku bagaimana hukum di semesta berkata, jika temu tak menjadi tempat tuju maka perpisahan lah yang 'kan menjadi tempatnya bermuara.

Mengingat sepasang netra kelamnya, aku merasa sepasang manik mataku hendak kembali memuntahkan air mata.

Mata Bintang ialah manik paling indah sekaligus dingin yang ada di dunia. Serupa ada buana lain di dalamnya. Semesta nan asing dan seakan berkata bahwa tak ada yang boleh menyelinap ke dalamnya.

Tak terkecuali aku sendiri.

Kala ia menangis dalam dekapanku, aku merasa ingin merengkuhnya lagi dan mengatakan jika aku akan selalu ada untuknya.

Namun belum sempat kalimat itu mengetuk rungunya, janji semu di antara kami akhirnya menemukan sang muara.

Kami berpisah di hari itu dengan keadaanku yang benar-benar membisu, Bintang pun tak ada mengucapkan kalimat apa pun selain ...

Betelgeuse [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang