32. Kini, aku tidak merasakan rasa sakit lagi

254 32 74
                                    

Perlahan mukaku menengadah menatap langit-langit apartemen yang tak kunjung didera cahaya. Meski sang surya berangsur angkat kaki dari langit Jakarta, aku masih enggan menyalakan lampu 'tuk setidaknya menghalau gulita yang kian merajai tempatku berada.

Seantero ruangan kini berpeluk pada pendar jingga dari cakrawala, berpadu dengan sedikit merah yang serupa pelik 'tuk turut menduduki panggung angkasa. Sepasang mataku beralih menatap luar jendela, menampilkan air mata semesta yang sedari siang belum jua berniat 'tuk terjeda.

Tak ada suara dari bibirku, bahkan bilik imajiku entah mengapa membungkam kelu. Sembari bersandar pada dinginnya dinding, aku merasa diriku kian terasing.

Kesepian semakin menginvasi raga, menyelisik hingga sela-sela sukma, dan mau tak mau aku tenggelam di dalamnya.

Serupa debur ombak yang perlahan menggerus bebatuan tanpa meninggalkan sisa, kesepian juga sama adanya. Mereka bisa menjelma bagai senjata, yang berkoloni dengan mula-mula, dan tanpa sadar telah menoreh luka padaku sampai ke relung jiwa.

Tidak ada yang dapat menghentikannya, bahkan aku sebagai sang empunya raga.

Semakin aku mengudarakan titah agar perasaan sepi itu sirna dari daksa jua sukma, semakin gencar pula lah mereka 'tuk dapat menenggelamkan diriku ke dalam jurang kesepian sepenuhnya.

Sekali lagi, kedua manik mataku bersemuka dengan rinai yang setia membasahi bumi. Dalam setiap tetes air cakrawala yang berjatuhan, dapat kudengar berbagai suara yang menjejali ruang rungu.

Suara kala air itu beradu dengan dedaunan di luar sana. Suara bila tetesan air itu tak sengaja menimpa jendela. Dan sebuah suara ... yang mengganggu isi kepala.

Tanpa aba-aba, suara itu bersilih menjadi sebuah nada yang kian menggerayangi ruang kepala, diikuti oleh barisan aksara yang menjadi penyemarak suasana.

Selaras dengan derai cakrawala yang semakin meluluhlantakkan mayapada. Begitu pula barisan aksara yang mulai berdansa di kepala hingga membentuk rangkaian kosakata.

Bibirku terkunci. Deru napasku memecah sunyi. Suara itu menjadi sebuah melodi, serta para aksara yang menjelma sebagai lirik berisi afirmasi diri sendiri kepada seorang pemudi.

Aku tahu apa yang sedari tadi diutarakan di sanubari.

Aku ingin membuat sebuah lagu lagi, 'tuk yang terakhir kali.

──

Derai hujan baru saja berhenti, kendati aroma bernamakan petrikor masih setia berada di bumi tanpa mau angkat kaki. Mereka menguar lalu tercerai-berai di udara, merasuk ke dalam relung jiwa setiap manusia, terutama aku yang kini memaku atensi pada bentangan cakrawala.

Selepas mengudarakan sebaris pesan kepada Jia dua jam lalu yang berupa: kita ketemuannya tengah malam aja, aku justru tiba terlebih dulu daripada sang lawan bicara.

Entah kenapa, rasanya aku hendak bersua dengan dinginnya malam sebelum aku pergi dari dunia.

Bersama tangan yang sepenuhnya tenggelam dalam saku celana, wajahku tak lekang bertemu muka dengan lanskap gulita milik semesta. Bintang terlihat bekerlip harmoni, serupa menjadi pengingat jika aku masih hidup hingga hari ini.

Ah, hidup ... aku tak pernah dapat mengerti bagaimana arti dari kata itu.

Jia berkata, jika setiap manusia yang Tuhan hadirkan di dunia itu tidak ada yang sia-sia. Mereka semua berguna, sedang aku apa?

Hidupku terlalu banyak luka, serupa hujan yang tak pernah menjeda air matanya. Tak pernah diterpa pendar hangat sang surya, cukup hanya berpeluk pada dinginnya lara sebagai sejawat di dunia.

Betelgeuse [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang