O8. Tentangnya yang berpeluk pada lara

221 96 169
                                    

Trigger Warning//violence

Tolong bijak ya!

──

Pernah sekali waktu, aku membaca buku seorang pujangga paling terkenal dari London, William Shakespeare, yang berjudul Julius Caesar.

Buku yang sedikit lain, begitu pikirku kala format isinya menyerupai skrip yang biasa aku baca di tempat syuting, sebab bukan memakai paragraf namun, berupa babak serta adegan.

Aku menyukai salah satu kutipan di dalam bukunya, tepatnya babak dua di adegan dua, yang berbunyi, "Pengecut mati berkali-kali sebelum kematian mereka."

Kenapa aku menyukainya? Karena itu benar-benar menggambarkan diriku.

Seorang pengecut yang kerap melontarkan kontradiksi lantaran harus memenuhi semua ekspektasi. Pengecut yang membiarkan diri sendiri tenggelam di dunia tanpa afeksi. Dan seorang pengecut yang tidak tahu bagaimana cara membebaskan diri.

Entah berapa lama lagi, aku akan terjebak di sini.

"Skakmat."

Aku mendorong pelan bidak raja putih milik Arsen guna bidak kuda hingga bidak itu menggelinding ke lantai. Kedua mataku beralih ke lawan main, Arsen, yang diam tak berkutik.

"Udah 'kan? Gue mau pulang," ujarku sembari menarik diri dari lantai-yang entah sudah ke berapa kali aku lakukan-sebelum pemuda itu merengek lagi untuk kelima kalinya.

"Sekali lagi, Bin, sumpah! Sekalii lagi!"

Apa aku bilang? Ia kembali merengek bak anak kecil kecolongan permen.

"Lo udah bilang gitu tiga kali ya, terus hasilnya sama aja. Lagian gue punya kerjaan lain, ntar aja sambung besok," tolakku mentah-mentah, kepalaku sibuk menggerutu sebab tak ingin terjebak dengan Arsen lebih lama lagi.

"Yang tadi-tadi cuma testing, ini baru beneran," bujuk Arsen dengan roman muka memelas yang menyiratkan kalimat 'ayolah Bintang, beri pemula catur ini kesempatan'.

"Gak, hasilnya bakal sama. Lo gerakkin pionnya aja ngikutin insting. Catur itu pake strategi, bukan intuisi," nada suaraku berubah ketus, entah itu menyinggung perasaan lembut pemuda yang berbeda dua tahun dariku itu atau tidak, aku tidak terlalu acuh.

Aku mengambil kemeja hitam berbahan flanel milikku di atas sofa ruang keluarga Arsen. Dari sudut netra kanan, wajah muram Arsen perlahan mengabur, beralih senyum cerah yang terpatri sembari melontarkan kalimat.

"Nanti main lagi ya, Bintang!" serunya ceria, kurva di labiumnya seakan turut menyihir bibirku 'tuk melakukan hal sama, aku urung melakukannya, sebab tak ingin terlalu larut dalam rasa.

Jari jempolku mengacung sebagai balasan ucapan pinta Arsen, entah bagaimana ia meresponsnya, di benakku hanya punya satu asa; semoga ia tidak kesal dengan tutur kata ketus beberapa menit lalu.

Langkahku kian memotong jarak menuju pintu utama, kala sepasang kakiku berhenti di depan tangga, kepalaku mendongak menatap langit-langit hunian 'teman'ku.

Terang, begitu terang, namun amat lengang.

Semacam tidak ada makhluk hidup selain aku.

Dingin, teramat dingin, hingga bulu kudukku turut mengamini.

Arsen, pemuda yang saat melihatnya kau mungkin ingin melindunginya dari kerasnya dunia. Dunia yang terkadang tak sejalan dengan kita. Dunia yang kerap memukul mundur para manusia dengan semua realita, lantaran tidak semua fatamorgana 'kan menjadi nyata.

Sekali lagi aku berhenti tepat di depan pintu, menoleh sejenak ke dalam rumah yang seakan kepingan kecil dunia terpencil di alam semesta.

Dalam sanubari, aku melantunkan kata, semoga Arsen tetap bisa bahagia, meski acap kali dirundung lara.

Dan, aku masih belum bisa memberi secuil percaya padanya. Karena, andaikata aku salah memberinya, maka sama saja membiarkan pengkhianat menginvasi diriku.

Lagi pula, aku tidak ingin mati sekarang.

Mungkin nanti, kala semuanya memang diharuskan usai.

──

"Terlambat dua jam."

Aku memutar sepasang netraku, malas. Dua orang lelaki menatapku tajam, dengan seorang punggung perempuan yang enggan ku kenali.

Kedua tangan sengaja aku simpan ke dalam saku celana, tungkaiku sungkan berhenti barang sekejap, ragaku pun juga demikian patuh pada titah isi kepala.

"Lo itu budek apa pura-pura gak denger?!" bentak dia, yang namanya tak akan aku sebut sekarang.

Langkahku tidak gentar, justru semakin berani dengan kini terus menaiki anakan tangga. Meski ada rasa kalut dalam diri, namun secercah harap di sanubari mengudarakan janji, jika aku tak boleh takut lagi.

"Bintang, ini Amanda udah nunggu kamu," suara berat Papa tiba-tiba memecah hening, aku turut terdiam, namun sulit memalingkan muka.

"Aku gak peduli," ujaran itu meluncur dari kerongkongan, tapi aku puas dengan jawaban itu.

Belum sempat melangkahkan kaki lagi, kerah kaus belakangku seketika ditarik kemudian tinju-yang-tidak-seberapa darinya menghantam pipi kananku.

"Dia udah nungguin elo dari jam delapan, Bego! Terus ini balasan lo? Gak punya perasaan!"

Aku tidak membalas, rasanya malas. Dan juga, yang dikatakannya benar adanya.

Aku tak memiliki perasaan.

Orang-orang sering salah menerka, bahwa semua lagu tulisanku yang bertema cinta, adalah hasil dari pengalamanku di dunia asmara.

Mereka salah, aku tidak pernah berkecimpung ke dunia asing itu.

Dunia asing yang aku dengar dari mulut ke mulut, bisa menyebabkan pelakunya kehilangan logika hingga bucin akut.

Apa benar demikian? Jika iya, aku memilih tidak akan mengecap asmara seumur hidupku.

"Lo itu gak pernah diajarin bersyukur apa gimana?!" Lagi-lagi pipi sebelah kananku mendapat bogeman, tubuhku tersungkur ke dinginnya lantai, meski begitu, kepalaku tetap bersikeras tidak melawan.

Bersyukur? Bersyukur tentang apa? Aku tak pernah bersyukur akan apa pun, tak terkecuali kelahiranku. Yang aku syukuri cukup satu, memiliki isi kepala yang mampu menghasilkan banyak lagu.

"Amanda suka sama elo, dan lo gak bersyukur bisa disukain cewek secantik dia." Dia berkata itu tepat di depan wajahku, perutku mendadak tak enak kala mendengar kalimat menggelikan itu.

Aku ingin muntah.

Perempuan itu datang, mendorong dia yang tepat di atasku kemudian kedua tangannya meraba wajahku.

"Lo gak apa-apa 'kan?" tanyanya, raut wajahnya benar menyiratkan khawatir, daripada itu, aku tahu aku lebih pintar dari gadis itu.

Aku menepis, tidak menjawab, sedetik kemudian aku berdiri meninggalkan panggung sandiwara murahan-yang sialnya aku pun turut menjadi pemainnya.

Sepasang tungkaiku terus menaiki tangga, walau runguku harus mendengar perkataan tak mengenakkan yang dilontarkan oleh dia. Tepat di anak tangga terakhir, aku berhenti dengan wajah menoleh kebelakang.

"Gue gak mau debat sama elo, ntar orang bodohnya nambah jadi dua," ucapku yang sukses membungkam mulutnya.

"Elo suka juga 'kan sama Amanda? Ya udah ambil aja, gue gak suka sama dia ..." Aku berhenti sejenak. "..., kalo dilihat-lihat lagi, kalian berdua serasi, pacaran sana." Aku tersenyum kecil lalu kembali berjalan menuju kamar.

Seperti biasa, kamarku diliputi hampa, begitu pun diriku yang lagi-lagi didera sesaknya dada, serta nyeri yang menjalari muka.

Aku membaringkan diri di atas ranjang, pikiranku melayang-layang, langit kamarku seakan berubah menjadi awang-awang.

Lagi-lagi menjadi pengecut.

Dan pengecut ini ... telah mati lagi, entah yang sudah ke berapa kali.

Betelgeuse [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang