12. Pengembara yang kehilangan tempat berpulang

167 82 218
                                    

Bintang kerap kali mengira-ngira, perihal apa gerangan eksistensinya di dunia.

Apa sebegitu pentingnya hingga ia harus terlahir di semesta yang kadang beradu tegang dengannya.

Entah mengapa, malam ini sang dewi malam terlihat begitu bahagia. Binar rembulan luruh menghujani pertiwi, bersilih bintang yang cahayanya turut menjejaki kaki langit.

Rasanya Bintang ingin melayang, berpeluk pada awan sembari menyatu dengan awang-awang.

Mobil mini cooper putih yang sedari tadi terparkir di area belakang Mall Plaza terbengkalai tampak ribut, sebab kedua jiwa di dalamnya tengah beradu kata diiringi jemari yang senantiasa menunjuk-nunjuk.

"Lo ngapain sih bawa-bawa ginian?!" Bintang menaikkan satu oktaf suaranya lantaran sang lawan bicara—Jia Aliana—membawa banyak hal tak berguna yang bisa ia sebut sampah.

Bikin mobil gue makin sumpek aja, begitu pikirnya.

"Ini buat skripsi gue! Lo mau gue gak lulus tahun ini hah? Lo mau bikin gue jadi mahasiswa abadi?!" Alih-alih melemahkan suara, perkataan gadis itu justru hampir saja memecah isi telinga pemuda di sana.

Bintang menghembuskan napas kasar kemudian berucap pelan, "Gue ngajak lo bukan buat ngerjain skripsi."

Meski terdengar seperti kalimat biasa bagi kebanyakan manusia, namun agaknya berbeda bagi seorang Jia. Emosinya kembali menginvasi diri, dengan berapi-api Jia menyemprotkan kalimat pamungkas kepada Bintang.

"Lo yang gak tau sikon, Bodoh! Udah ah gue mau pulang aja."

Jia menarik kantong kertas besar berisi kertas ke pelukannya lalu membuka pintu mobil seraya mulut mengeluarkan kata makian, Bintang diam saja malas menanggapi bahkan kala pintu mobil kesayangannya dilempar kasar ia tetap bersikap seolah bukan hal besar.

Kepala pemuda itu bersandar pada bantalan kursi mobil, pertanda jika emosinya kini sedang tidak stabil. Ia menatap langit-langit penggerak beroda empat itu, imajinasinya melanglang meski yang dihasilkan hanya berupa gambar abu-abu.

Sekarang apa?

Jam di dashboard mobilnya telah menunjukkan pukul sebelas malam, rasa hendaknya menginjakkan kaki di bangunan yang disebut 'rumah' tiba-tiba tenggelam. Ia berpikir, ada sesuatu hal yang belum berakhir.

Apa itu? Entah lah.

Kedua tungkainya kelu 'tuk menginjak pedal, lengan kanannya pun tak mematuhi apa titah sang akal, pemuda itu kini terjebak dalam lini masa abnormal.

Suara makhluk-makhluk rekaan di kepala Bintang bertumpang-tindih mengumandangkan kalimat yang sama, dan sukses menghancurkan pertahanan sang empunya raga.

"Tidak ada tempat untukmu pulang di dunia, Bintang."

Apa benar-benar ... tidak ada?

──

Rembulan tersenyum lara kala Jia mendongakkan wajahnya, sebab kini sang bulan telah ditelan oleh kerumunan awan hingga binarnya terlihat nestapa di matanya.

Angin berembus pilu, kelabu ikut menyemarakkan malam yang membisu. Jia akhirnya melempar maki kepada diri, merasa bodoh lantaran memilih menapak pada mayapada di saat cuaca hendak membasahi pertiwi.

Ia menahan diri untuk berbalik arah, gengsinya sekarang tengah tinggi bercampur dengan rasa amarah.

Jia jauh lebih memilih berada di bawah bumantara yang sedang menumpahkan rasa, daripada mengulang peraduan mulutnya tadi dengan sang taruna.

Biar lah ia dikungkung oleh rinai cakrawala malam ini, mungkin nanti tubuhnya besok 'kan berakhir di atas ranjang seharian berikut omel dari kedua teman karib sang pemudi.

Betelgeuse [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang