13. Sepasang netra itu, terlalu tenggelam dalam kelabu

140 65 200
                                    

"Wah serius?!"

Aku menopang dagu, menatap ke luar jendela kafe sembari tetap mempertajam rungu. Dua orang yang kini bersamaku, tengah diliputi sukacita bak manusia mendapat durian runtuh.

Waktu aku berkata bahwa proposal skripsiku diterima—serta akan menghadapi seminar proposal bulan depan nanti, keduanya langsung bersorak hingga mau tak mau mengundang semua atensi menatap kami.

Seakan hal yang terjadi hari ini adalah keajaiban dari Tuhan, sebab Pak Zaki dikenal senang meng-ghosting mahasiswa didiknya.

"Kalo kata gue, lo harus syukuran tujuh hari tujuh malam," usul Yudistira yang lantas aku lempar boks tisu sebagai balas, ide lelaki di depanku ini tidak berguna sama sekali.

Pemuda itu sepertinya ingin teman perempuannya ini jadi melarat muda.

"Ah gue sih gak muluk-muluk, mending traktir kita berdua ini," sahut Nebula seraya menunjukkan menu parfait stroberi dengan netra kiri yang mengedip.

Belum sempat mulutku melempar kata, kedua orang itu lagi-lagi asyik sendiri dengan buku menu di masing-masing mereka. Tanpa ba-bi-bu aku lantas merebut buku menu itu dari tangan mereka, membiarkan manusia-manusia di depanku ini mengeluh sembari mengekspresikan rasa duka.

"Oh ayolahh, gue lagi miskin!" seru Nebula yang sukses dihadiahi jitak di kepala oleh Yudistira, taruna itu mulai mengomel hingga telingaku nyaris pengang dibuatnya.

Aku hanya menatap keduanya tanpa ingin terlibat, pikiranku melanglang entah ke mana akan bertambat. Mataku menatap gelas berisi soda dengan lamat-lamat, isinya mendesis seakan turut jengah sebab kedua manusia itu kembali tak bersahabat.

Aku mengerti apabila yang berucap tengah dilanda kemiskinan akhir bulan itu Yudistira, dan harus kalian tahu juga, pemuda itu berani hanya sedikit mengisi rongga perut demi membeli robot khas negeri Sakura.

Gundam.

Pernah satu waktu kala aku masih sibuk mengerjakan laporan praktik, Yudistira datang menghampiriku ke fakultasku dengan wajah jemawa seperti biasa, ia menunjukkan Gundam terbarunya yang baru datang sembari bercerita dengan nada congkak.

"Lihat keren 'kan? Mahal nih, kisaran sepuluh juta," kata Yudistira dan menunjukkan foto Gundam dari layar ponselnya, aku mengangguk saja agar menyenangkan hatinya.

Lalu beberapa hari kemudian, kala waktu serta ragaku benar-benar digerus oleh tugas yang tak berkesudahan, Yudistira datang kepadaku seraya mendung yang mengiringi pun rambut nan berantakan.

"Gundam baru gue dirusak keponakan, mana Kakak gue gak mau tanggung jawab. Katanya, "Halah mainan gitu doang kok sampai sepuluh juta? Udah ikhlasin aja, lagian Bayu masih kecil, masih anak-anak.". Iya gue sadar kok Bayu masih kecil, ya tapi 'kan ...."

Sepanjang sang surya masih setia di atas kepala, sampai semburat lembayung di ufuk barat tertangkap netra, aku mendengar kicau keluh taruna itu tanpa mau menyela di setiap katanya.

Aku mengerti, sangat amat mengerti perihal perasaan Yudistira tentang ucapan Kakak perempuannya yang menganggap semua tingkah anak kecil patut dimaklumi.

Mungkin terdengar sederhana, dan juga tak jarang aku mendapati analogi bahwa anak kecil adalah representasi kepolosan dunia.

Itu tidak salah, tapi pun tidak benar jika dibiarkan.

Anak kecil diibaratkan kertas HVS polos, tanpa noda, tanpa cela, serta bersih ketika hadir ke semesta. Perlahan akan menorehkan tintanya sendiri kala ia mendengar, melihat, dan melakukan apa yang orang-orang lakukan di dunia.

Beberapa anak mungkin akan menggunakan tintanya 'tuk menulis hal-hal indah layaknya kenangan bahagia di dalam diary, sebab insan di sekitar turut andil hingga ia tumbuh menjadi pribadi yang baik.

Betelgeuse [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang