28. Riak-riak sanubari yang berteriak dalam sunyi

84 32 66
                                    

Aku tidak tahu apa yang hendak aku lakukan siang ini.

Sembari jemari mengawang di udara, kepalaku pun turut melanglang entah ke mana. Ruang imajiku ramai akan beraneka kata, tetapi semuanya tentu tidak menemukan tempat bermuara.

Masih ada tanya yang mengganjal tanpa sempat 'tuk diutarakan, terlebih kepada pemuda yang hadirnya tak dapat diterka ada di mana dua hari belakangan.

Jika biasanya nama dirinya atau band yang menaungi—Katarsis—kerap berseliweran di media maya hingga aku sendiri merasa jemu dibuatnya, kini justru perasaan gamang serta kalut menginvasi rongga dada jua isi kepala.

Aku buntu, akan tetapi tak mampu melakukan apa pun dan hanya dapat membisu.

Menghubungi nomornya mungkin bukan opsi yang tepat untuk sekarang, sebab bisa saja ia sibuk hingga tak ada waktu lapang, jadi aku membiarkan niatku itu 'tuk tetap bersarang.

Ragaku berpaling, lalu aku sadar apabila aku telah ditelan hening yang asing.

Ruang-ruang samping kanan kiri kamarku teramat sepi, persis serupa kala akhir pekan yang seringkali orang-orang jadikan 'tuk mengistirahatkan diri. Namun sekarang bukan hari Sabtu atau Minggu, dan pula manusia mana yang mau menantang sang surya yang tengah berbinar bahagia di atas cakrawala sana.

Perlahan tubuhku meringkuk dengan tangan yang sepenuhnya bersembunyi pada dada, hidungku turut menghidu sisa-sisa parfum yang ditinggalkan oleh si pemuda. Mataku terpejam, sukmaku tenggelam, begitu dalam.

Kurasa aku masih jatuh cinta kepadanya.

Ketika sekelebat kalimat itu mengudara semu di dalam ruang imaji, aku lantas menggeleng 'tuk menyuruh para aksara itu angkat kaki. Tanganku merengkuh guling seraya menenggelamkan muka, di kepala telah terbayang jika wajahku kini serupa tomat yang merah merona.

Aku menepuk pipi, mengusir jejak-jejak halusinasi sisa syair buai mimpi.

Dengan dagu bersangga pada ujung guling, aku memikirkan banyak hal hingga rasanya kepalaku turut dibuat pening.

Perihal potret Bintang bersama perempuan-yang-entah-siapa dua hari lalu, Bintang yang meminta tolong padaku, pun soal afirmasi yang pemuda itu lontarkan lalu meninggalkan perasaan ambigu yang kian membelenggu.

Tidak ada penjelasan apa-apa, seakan semua akan terjadi secara tiba-tiba, dan pemuda itu memintaku 'tuk percaya padanya.

Namun sanubari serta ruang imaji kompak mengamini, apabila kini aku tengah dirundung bimbang yang semakin menginvasi diri.

Entah harus percaya, atau membuang kalimat itu serupa tidak pernah terjadi apa-apa.

Aku meraih ponsel yang berada tak jauh dari tubuhku, menyalakannya lalu membuka sosial media sebagai aksi mengisi waktu.

Kala atensiku tertarik 'tuk membuka bagian trending berita, raga serta sukma diriku seketika kehilangan daya. Mulutku terbuka, namun tak mampu mengutarakan kata, juga kepala yang sirna akan kata.

Judul berita paling pertama, ialah berita yang justru tak pernah aku terka.

Headline News — Salah Satu Anggota Band Terkenal Ibukota, Katarsis, Diduga Telah Melecehkan Seorang Perempuan

──

Hujan itu serupa orkestra, yang dari bulir-bulir air matanya memanifestasikan sebuah nada, lalu manusia menginterpretasikan jika di dalam nada-nada nestapa itu memunculkan sekelumit perasaan bernamakan dukacita.

Selain kerap dikaitkan dengan rindu yang entah kapan menemukan masa 'tuk saling bersua, aku rasa, hujan pun dibuat untuk manusia yang enggan menunjukkan air mata kepada dunia.

Betelgeuse [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang