26. Seorang pemuda dengan dua rupa berbeda

99 34 98
                                    

Trigger Warning//violence, mentioned of death

Content Warning//alcohol

Tolong bijak ya!

Kala sepasang netraku terbuka, aku hanya dapat melihat gulita tanpa ada sekelumit pun jejak-jejak cahaya.

Entah kini sang surya tengah memijak pada langit pertiwi, atau justru dewi malam yang merebut posisi, aku tidak tahu pasti, yang aku tahu hanyalah aku baru saja terlepas dari kungkung rajutan mimpi.

Sekujur ragaku terasa sakit luar biasa, lebih-lebih di area perut serta kepala. Alih-alih mampu berdiri, bergerak satu inci pun mulutku lantas menyuarakan erangan yang sukses memecah sunyi.

Rasanya sakit sekali, sampai aku merasa seluruh tulangku terbabat habis oleh seseorang yang memukuliku tanpa henti.

Jika boleh aku menerka, pasti Papa orangnya.

Membuang semua pikiran mengenai Papa, jua rasa sakit yang tak kunjung mereda, aku merangkai dua tanya berupa fana di kepala; sudah berapa hari tubuhku dipatri oleh luka? Dan di mana kini aku berada?

Alih-alih bersemuka dengan dinginnya lantai kamar mandi, daksaku lantas berakhir di atas ranjang meski rasa ngilu yang sebagai buah tangan kian menjalari diri.

Suasana kini teramat sunyi, harmonis dengan desau angin yang kini tak mengudarakan secercah resonansi. Dan diri ini, hendak turut serta menjadi andil dalam sepi yang tak pernah absensi barang sehari.

Roll film ruang imaji diri ini seketika terputar, menampilkan sebuah memoar, yang jika dipikirkan kian memicu kalut pun geram yang semakin berkobar.

Tentang diriku yang telah disentuh oleh sesama, pula perihal Jia yang mengutarakan sebaris afirmasi berupa janji yang akan selalu menemaniku hingga kematian yang menjadi muaranya.

Aku kerap beranggapan jika manusia bila menawarkan sesuatu kepada jiwa lainnya pasti suatu saat akan menagih imbalan, lalu apakah Jia juga akan berlaku demikian?

Sang dara itu begitu baik padaku, sedangkan kami baru menjalin temali semu beberapa bulan lalu. Kendati tak berujung bersama selamanya, tetapi aku merasa bahagia, sebab di kepala telah abadi kenangan yang 'kan aku bawa ke alam baka.

Aku diliputi bahagia bila bersama Jia, akan tetapi suka cita tak selalu bertahan selamanya. Aku memiliki Papa, yang seringkali merundungku dengan lara.

Mau bagaimana pun usahaku 'tuk membebaskan diri, kendati berkali-kali baret serta luka memar menghiasi rupaku setiap hari, tetap saja perasaan bebas tak kunjung bersua dengan diri ini.

Betapa mahalnya 'tuk sebuah kebebasan meskipun hanya berwujud semu belaka.

Tanpa aba-aba, rasa kantuk seketika merajai sukmaku beserta raga.

Katanya, tidur ialah simulasi pada manusia 'tuk merasakan bagaimana rasanya bersua dengan kematian. Namun sayangnya hanya sekejap mata. Sebab bila sang surya telah menyapa, sukma yang melanglang kembali merasuk ke dalam daksa.

Akan tetapi, apa boleh aku menerka jika tidurku kini ialah yang terakhir kali.

Sebab jiwaku hendak merdeka, bebas menjejaki dunia mana saja, tanpa ada rasa duka jua lara yang mengikatnya.

Perlahan tapi pasti, kegelapan mulai kembali menelan diri, menarikku 'tuk bergelut lagi di alam mimpi.

Lalu, aku kembali tak sadarkan diri.

──

Runguku sayup-sayup menangkap secercah suara, entah itu suara siapa, namun yang pasti kini sepasang netraku teramat berat hingga rasanya sukar 'tuk terbuka.

Betelgeuse [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang