O2. Harap yang tak dapat diucap

578 233 394
                                    

TRIGGER WARNING//SELFHARM
Tolong bijak ya!

──

Sudah berapa lama aku berada di bawah kucuran air shower? Sudah berapa lama dingin menyelimuti ragaku? Dan, sudah berapa lama para bulir-bulir air mata ini menemani kesendirianku?

Aku mendapati diri tengah memeluk lutut dengan tubuh sepenuhnya basah. Kedua belah pipiku nyerinya bukan main. Sepasang tungkaiku mati rasa. Ditambah aliran darah hangat dari pelipis sebelah kiri.

Sial.

Hari ini benar-benar sial.

Kenapa aksiku tadi justru diketahui lebih dulu oleh orang luar alih-alih staf atau Adriel?

Lalu juga, kenapa dia memberitahu tentang ini kepada Papa?

Aku menyandarkan kepala ke dinding sembari menyingkap lengan kemeja hingga menampilkan luka baret sepanjang sepuluh senti, luka yang baru saja aku ukir kira-kira beberapa jam lalu.

Ah, sekarang sudah jam berapa? Apa hampir pagi? Atau waktu kembali berjalan perlahan?

Netraku mengedar mencari sesuatu yang setidaknya dapat berguna, namun akhirnya berujung sia-sia. Punggungku kembali bersandar ke dinginnya dinding kamar mandi, dengan isi kepala yang kian mencerocos ke sana kemari, kedua mataku tak kunjung menemukan apa yang dicari.

Seperti biasa, aku lagi-lagi melayangkan khayal serta tanya pada sang fatamorgana, sejak kapan semua ini bermula?

Aku kerap bertanya demikian walau tidak pernah mendapat jawab, sebab tak akan ada yang menjawabnya meski aku mengaungkan kalimat yang sama beribu kali.

Yang bisa menjawab itu hanya diriku sendiri, dan jawabannya aku tidak tahu spesifiknya. Sudah terlalu lama, sudah terlalu terlambat juga 'tuk terlepas dari semuanya.

Rasa sakit yang setiap hari raga serta luka batinku peroleh, beralih jadi suatu perasaan aneh.

Aku merasa nyaman dibuatnya, mungkin lantaran aku sudah terlalu tenggelam di dalamnya.

Bekas jejak air mata di kedua pipi segera aku seka, sebab akan malu rasanya bila ketahuan orang lain jika aku menangis.

Entah berapa lama stereotip tentang 'laki-laki harus kuat, gak boleh nangis' tertanam dalam diri ini.

Aku hanya mematuhi apa perkataan Papa, pantang bagiku untuk mengeluarkan air mata, terutama di depan khalayak baik langsung maupun maya.

Lalu, di mana aku harus menumpahkan semua emosiku?

Satu-satunya jawabannya adalah, aku menyayat lenganku sendiri. Membiarkan emosi mengalir sembari membiarkan luka di lengan bertambah.

Aku lupa berawal dan belajar dari mana tentang itu, namun jika aku boleh berkata jujur, aku menikmatinya.

Jam di kamarku mulai berdentang, pertanda tengah malam akan segera datang.

Dalam waktu yang kembali berjalan lambat, pikiran yang masih setia bermakrifat, kepada Tuhan aku ingin berwasiat, bisakah salah satu malaikat-Mu menyudahi kisah hidupku dengan cepat?

Tubuhku lantas ambruk dan beradu dengan dingin kelamnya lantai. Dentang jam sudah berbunyi sebanyak sepuluh kali. Aku menyunggingkan senyum kecil diiringi kesadaran yang kian menipis.

"Mama, aku ingin pulang ..."

Tepat jam berbunyi dua belas kali, aku kehilangan kesadaranku lagi.

──

Sejenak runguku menangkap suara yang tak asing.

Suara yang kerap kali menarikku dari dunia terasing bernamakan hening.

Betelgeuse [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang