O6. Bunga api yang mendesis

230 123 188
                                    

Mereka belum mengucapkan sepatah kata pun sedari tadi. Bahkan kala keduanya saling menubrukkan atensi, tidak ada kurva yang terkembang dari masing-masing diri.

Keadaan di dalam sini amat dingin, sama halnya dengan Jakarta yang sudah serupa kota lain. Bumantara terlalu gelap, bukan, ia telah sepenuhnya ditelan kelam.

Kegelapan yang sanggup memicu para manusia seantero ibu kota berlarian tercerai-berai, sebab tak lama lagi daratan akan menjadi tempat bergumulnya badai.

Air conditoner mobil sengaja sang pemuda matikan, lantaran kerap terserang bersin yang tak berkesudahan.

Ya, Bintang alergi dingin.

Ia memegangi erat kemudi seakan benda itu bakal pergi. Jalanan depan sana seperti biasa dipenuhi berbagai macam transportasi. Bintang menggeram sinis, akibat macet yang mau tak mau menghancurkan semua asumsi.

Jalanan Jakarta tidak pernah dibiarkan terlelap oleh penggerak besi itu, meski barang sedetik pun.

"Boleh nyetel lagu gak?" Sang puan mulai berani membuka suara, dengan netra yang sudah lama menunjukkan ketertarikan pada audio mobil dan gelagat jemari yang begitu kentara, Bintang mengerling sejenak kemudian mengangguk pelan sebagai responnya.

Air muka Jia seketika diliputi sukacita, tangannya sibuk mengutak-atik benda itu sambil bergantian dengan ponselnya. Syukurnya ia tidak kagok teknologi zaman sekarang.

Lagu bertajuk "Vintage" yang dipopulerkan oleh musisi seorang pemudi, Niki, mengalun pelan beriringan dengan rinai yang turut membasahi Bumi.

Musik yang tengah mencapai reff-bagian paling disukai Jia-harus tenggelam oleh bisingnya butiran air di luar sana. Hujan mendadak jadi deras serupa ingin meluluhlantakkan isi Jakarta.

Gadis itu mengalihkan atensi ke jendela mobil, napasnya memelan akibat dingin yang kian memicu gigil. Hidung Jia kembali menghidu suatu aroma, hal yang bahkan penciumannya pun tak sudi 'tuk menerimanya.

Aroma pengharum jeruk.

"Jelek banget selera lo," ucap Jia saat mendongak dan mendapati pengharum itu tepat di atas kepalanya.

"Bodo, lagian ini mobil gue," sahut Bintang yang tatapannya masih fokus ke padatnya jalanan.

Dirinya seperti biasa tak banyak mulut, akan tetapi Jia tahu isi kepala di sana benar-benar semrawut, bak lautan kendaraan besi yang betah berlarut-larut dalam kemacetan akut.

Jia menyandarkan diri ke arah kiri dengan kepala yang terantuk oleh jendela, jemarinya menggulir layar ponsel sembari memikirkan lagu apa selanjutnya. Netranya menangkap satu judul yang akrab di telinga, bahkan tiap baris kalimatnya ia hafal di luar kepala.

Telah Merekah, dari penyanyi solo pria terkenal tahun ini, Panji Ganendra.

Baru terdengar intro musik bernada lara, secara mengejutkan Bintang menghentikan laju mobil seraya berkata, "Matiin lagunya."

Sang dara terdiam tanpa kata, namun lagu masih kian mengisi sunyi antar dua manusia. Tangannya mendadak kelu, disertai labium yang turut membisu.

"Matiin lagunya! Lo denger gak sih?"

Jiwa gadis itu kembali ke raga, dengan secepat kilat ia mematikan lagu dengan napas tertahan serta gemuruh di dada.

Jia bertanya-tanya, ada apa gerangan mengenai lagu yang ia putar? Apa Bintang tidak suka?

"Jangan pernah lagi lo putar lagu itu di mobil gue."

Entah ada apa perihal Bintang antara lagu tadi, tapi yang pasti, Jia akan mengingat dan mengudarakan janji tanpa suara bahwa tidak akan melakukannya lagi.

Mobil mini cooper berwarna putih itu telah terbebas dari jeratan macet ibu kota, sang pengemudi akhirnya dapat melepas lega, dan gadis di kursi sebelah pun turut merasakannya.

Diiringi rungu yang kini tersumpal oleh kabel yang tertancap pada ponsel, dan kabel itu mengaliri lagu yang memicu amarah seorang Bintang Narandanu.

Pergilah
Engkau pantas 'tuk merekah
Pergilah
Menuju tanah antah-berantah

Meski kita tak akan pernah bersua lagi
Namun kenangan tentangmu 'kan tetap terpatri

──

Langit nampaknya masih murung, tertanda dengan dewi malam yang ditutupi kelabu seakan terkurung.

Jakarta bagian Timur tak jauh berbeda dengan Jakarta Selatan, berselimut oleh pendar cahaya dari lampu jalanan.

Dari atas rusun yang sudah terbengkalai, keduanya menatap hal sama yaitu ramai. Ramai yang seolah sulit 'tuk digapai. Ramai yang justru asing oleh pemuda di sebelah sang pemudi.

Bintang terduduk sembari membiarkan kaki menjuntai dibelai udara, sedang Jia serupa biasa sibuk berkutat dalam pikiran yang entah di mana ujungnya.

Keduanya seakan lupa tujuan mereka datang ke tempat ini, lagi pula, memangnya hal penting apa yang akan kedua orang itu bicarakan? Tidak ada.

Aroma hujan yang angin laut bawa, menjadi pengantar Jia ke dalam kantuknya, dengan bukti kedua manik gadis itu hampir terpejam sempurna jika Bintang tidak melontarkan kalimat tanyanya.

"Menurut lo, gimana lagu baru band gue?"

Jia memalingkan wajah dan menatap langsung netra gelap Bintang, ia merasa ada dunia lain nan asing yang terperangkap di dalam sana, namun sepersekian detik kemudian ia memutus tali pandang sebab tak tahan dengan aura suram si pemuda.

"Bagus kok, tapi ...," Mulut Jia lantas membuka suara, bersamaan pikiran yang kembali merangkai kata.

"Kok tapi-"

"Tapi, liriknya ambigu ... maksud gue, terlalu jauh sama musiknya yang bahagia. Liriknya seakan bilang kalau lo lagi putus asa ...," Jia berhenti sementara ia mengumpulkan keberanian 'tuk lagi-lagi mengarahkan atensi ke kelamnya manik mata Bintang.

"Bintang, lo gak apa-apa, kan?" Kedua pasang fokus mereka saling bertaut, Jia sebisa mungkin menjaga pandang meski kini dirundung takut.

Bintang yang dilempar pertanyaan itu sukses memicu hampa di kepala, ia bingung ingin menjawab guna kalimat apa, semua kata di akalnya bagai menghilang menjadi uap di udara.

Dalam hati Bintang tersemat sebaris kalimat, "Jangan terlalu menaruh banyak percaya kepada manusia."

Oleh sebab itu, ia enggan jujur kepada siapa pun kecuali dokter pribadinya juga Rendra.

Ujung bibir kiri Bintang sedikit tertarik, ia telah mendapat jawab dari tanya yang Jia ucapkan tadi.

"Apaan sih kok jadi serius gini? Gue cuma nanya lagunya bagus apa nggak, gak nanya liriknya segala macam," kata Bintang dengan nada biasa, ketus, tidak ada ramah-tamahnya sedikit pun.

Jia mengalihkan atensi kepada cakrawala yang serupa kanvas hitam kosong tanpa sesuatu hal mengisinya, jemarinya menari mengikuti gerak para awan di atas sana, lalu kemudian membalas jawaban si pemuda.

"Katanya, para musisi dan penulis tuh sama. Mereka jarang mengutarakan rasa lewat tutur kata, lebih senang mengekspresikan melalui deretan frasa atau nada. Si penulis menjadikannya buku, sedang musisi menciptakan lagu ...," Jia menoleh kembali pada Bintang, sembari tersenyum ia mengakhiri perkataannya.

"Itu berarti lo juga begitu 'kan? Kalau boleh jujur, lo musisi paling hebat, Bintang."

Bintang tak dapat berkata-kata lagi, labiumnya turut terdiam seperti halnya kepala yang kehilangan frasa. Raganya mematung, jiwanya berpeluk pada mendung.

"Loh ada kembang api?" Jia berkata bingung dan seketika menarik minat Bintang 'tuk ikut melihatnya.

Suar bunga api itu mendesis di udara, kemudian meledak menciptakan riak-riak cahaya. Namun tak lama, mereka lesap ditelan gulita.

Kedua insan itu enggan melepas tatap dari bentangan angkasa, mereka diam tetapi isi kepala mereka justru ramai bak sebuah kota.

Dan tidak lama kemudian, suar bunga api muncul lagi. Ia mendesis kemudian meledak dengan harmonis.

Betelgeuse [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang