11. Dua jiwa yang sama-sama terluka

177 78 171
                                    

Entah harus berapa lama lagi aku menarik kurva kepada semua jiwa.

Venue The Kasablanka Hall sebagian besar diisi oleh para pemudi, runguku telah lelah disesaki beragam bunyi serta senyum yang harus terus merekah entah kapan akan berhenti.

Sudah hampir satu jam kami—aku dengan anggota band lainnya—menyunggingkan senyum seraya bertukar kata dengan penggemar. Rasanya menyenangkan, sejujurnya. Namun acap kali banyak pertanyaan tak penting—bahkan masuk ke ranah pribadi kami—yang kerap didesak 'tuk mendapat jawab.

Aku tak pernah membenci mereka, sebab jika bukan karenanya, aku tidak akan berdiri di sini sembari menarik lebar kurva atau dengan bangga memainkan lagu yang dihasilkan imajinasi kepala.

Akan tetapi, meski kini aku di tengah ramai, rasanya aku semakin jauh ke dalam sepi.

Semakin aku mengembangkan senyum bahagia, kerumunan kelam itu kian menarik ke dalam gelapnya dunia paradigma.

Dunia yang berisik, amat berisik, hingga jiwaku turut terusik.

"Kita lanjut ke pertanyaan selanjutnya, kali ini terkhusus untuk Bintang."

Buat gue?

Aku mengutarakan tanya dalam semu, tentang apa pertanyaan itu? Dan mengapa daksa ini bersilih kaku?

"Biar saya bacakan, "Sebentar lagi Amanda bakal debut 'kan, nah tanggapan Bintang sebagai seorang teman Amanda gimana nih?" nah untuk Bintang, silakan." Pembawa acara lantas melempar tatap penuh arti padaku, senyum kecil di labiumnya enggan menyurut, aku sedikit kagum.

Tunggu, pertanyaan bodoh macam apa itu?

Rasanya sangat sulit 'tuk menghela napas barang sejenak, ruang imajiku serupa diacak-acak, suara sorak serta decak kesal kian semarak, menambah beban kepala yang semakin diisi sesak.

Aku ragu untuk melontarkan kata, bahkan kalimat yang hendak dikatakan pun lesap di udara.

Apa yang mereka pikirkan tentangku serta perempuan bernama Amanda itu? Alih-alih baik masih menganggapnya sebagai salah satu manusia, aku justru sangat amat enggan menyebutnya dengan sebutan teman.

Dia bukan temanku, itu lah yang harus kalian tahu.

Dunia tempatku kini jauh dari yang kalian bayangkan, hanya ada kelam di sini yang sewaktu-waktu dapat menenggelamkan.

Aku pernah mendengar kalimat ini dari Adriel yang berbunyi; kalo lo gak berhasil ke paling teratas, lo bakal mati tersingkir oleh mereka yang di atas. Makanya banyak talenta baru yang nekat mengotori diri mereka, buat sampai ke atas sana.

Serupa hukum rimba, siapa yang kuat mereka lah yang berkuasa.

Aku tidak mengerti, kuat seperti apa yang semesta ini cari? Apa harus menghancurkan yang lain dulu, baru akan mendapat pengakuan serta cinta dari warga maya.

Wajahku mendongak menatap lampu panggung yang merambatkan binar di udara, apa aku boleh meminta satu pinta pada Tuhan, bahwa aku ingin pergi sejenak dari dunia yang membelengguku sejenak.

"Bintang?"

Namaku menyapa rungu. Kedua manikku menoleh sebab tertuju. Kala sang netra menatap seluruh penjuru, aku merasa mereka semua tak sabar menunggu jawab dariku.

Rupa-rupa penasaran yang terlalu kentara dari mereka, seakan mencekikku hingga rasanya terlalu sulit 'tuk mengutarakan sepatah kata.

Mataku tertarik pada seseorang di sana, Jia.

Ia tak terlihat antusias dengan acara ini, lantaran ia jauh lebih memerhatikan layar ponsel alih-alih menaruh atensi terhadap kami.

Saat melihatnya, isi kepala seketika memberi titah kepada labium untuk segera menyuarakan ramuan kata yang telah terangkai sedemikian rupa.

Betelgeuse [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang