Bintang acap kali memikirkan ini di kepala, jika tiap-tiap tempat di dunia memiliki kenangan tersendiri di dalamnya. Namun ia berpikir lagi, berapa banyak kenangan yang ia patri di sini?
Sepanjang semburat gradasi jingga serta merah masih setia terlukis di lanskap cakrawala, sampai sang dewi malam lengkap dengan gemintang mengambil alih panggung sandiwara, Bintang tetap membungkam suara, enggan bertanya.
Lagi pula, ia harus menanyakan itu kepada siapa?
Malam semakin tenggelam dalam kelam, berikut setiap jiwa yang kini lebih memilih berdiam di tempat bersemayam. Bintang ingin pulang juga, tapi ke mana? Ia sadar dunia tidak menerimanya.
Jika semesta menolak dirinya, mengapa ia masih dibiarkan berpijak di atas mayapada, bersama luka yang kian mendera dan menyesakkan dada.
Lagi-lagi bilik imajinya melanglang buana, berpikir apabila nirwana pun tak mengamini sang pemuda 'tuk berdiam di sana. Jika iya, Tuhan pasti sudah sedari lama menjemputnya.
Bintang dilanda putus asa dan di kepala mulai terbentuk dua opsi; tetap bertahan kendati masalah terus datang menyambangi, atau memilih mengakhiri diri.
Samar-samar udara yang sebelumnya berbau hangat sisa sang surya, beralih menjadi dingin yang menyergap raga, pun juga aroma mi instan yang turut menyemarakkan suasana hingga memicu perut pemuda itu bersuara.
"Lapar?"
Jia tiba bersama dua cup mi instan di tangannya, mata cokelat itu menilik tajam ke arah Bintang serupa hendak membaca sanubari serta isi kepala.
Taruna itu tetap tak mengudarakan suara, bibirnya kelu selaras dengan muka yang tetap sama, datar tanpa ekspresi apa-apa.
Sang pemudi menyerah 'tuk melontarkan kata kepada lawan bicara, seraya mengembuskan napas panjang serupa menguarkan segala rasa di dada, Jia menarik kursi di seberang Bintang dan mendorong pelan satu cup mi instan ke hadapan pemuda di seberangnya.
Jia baru menyadari apabila mereka berada di toserba yang sama, meja yang sama, dan dengan keadaan yang sama pula.
Bintang dengan percobaan bunuh dirinya yang entah sudah keberapa kali, dan Jia datang sebagai tambatan sang pemuda menenangkan diri.
Netra Jia mengerling sekilas ke arah mobil mini cooper putih Bintang yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka bercengkrama, lalu kembali memaku atensi kepada si lawan bicara. Sembari sanubari merapal asa, bibir Jia turut melempar tanya menuju sang bintang utama.
"Bintang, soal berita tadi siang ...." Jia tak kuasa melanjutkan kalimat, mulutnya seolah tersumbat, dan matanya menangkap sepasang netra Bintang yang mengekspresikan kesedihan secara tersirat.
Sebelum gadis itu merampungkan kalimat tadi, kata-kata Bintang yang bernada tanya terlebih dulu merenggut atensi si pemudi.
"Hei, apa mati itu jalan pintas menuju kebebasan?"
Alih-alih menjawab dengan bahasan serupa, yang dilontarkan tanya justru balik bertanya.
"Bukankah kita hidup untuk memperjuangkan sesuatu?"
Alis Bintang sedikit terangkat bersama sepasang mata yang terbuka sempurna, akan tetapi itu tidak berlangsung lama, rona sendu kembali menginvasi netra jua perasaannya, tak sedikitpun membiarkan sukacita merebut panggungnya.
"Iya. Tapi, gimana kalau kita kehilangan hal yang kita perjuangkan itu, atau parahnya, gak bisa memperjuangkannya lagi," ujar Bintang pelan, namun mampu merasuk ke dalam kalbu sang dara.
Dalam keterdiaman Jia, Bintang lagi-lagi merangkai sebuah tanya. "Nah sekarang, apa lo bisa kasih gue alasan buat harus tetep hidup di dunia?"
Lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Betelgeuse [FIN]
Romantik[ACT IV of V Katarsis - Bintang Narandanu] Hidup Bintang Narandanu tak ubahnya mesin pekerja selama dua puluh empat tahun. Hanya berotasi antara Katarsis─band yang ia bangun selama enam tahun─dan berbagai jadwal entertaiment yang mengharuskan diriny...