18

34 8 5
                                    

Malam kembali menyapa, dua hari lagi ia resmi mengganti status dari jomblo ke tunangan, abis itu nikah. Kayaknya hidup semudah itu. Namun, bukan hidup kalau tak ada hambatan.

Tingg

Satu notifikasi membuat atensinya teralihkan. Pesan dari calon suaminya, eh ga papa kan ia sebut demikian?

My Boy
Nis,

Kenapa?

Besok anterin gue ke Istiqlal mau?

Ngapain?

Mau ketemu ustadz di sana. Biar jumat ini menjadi jumat pertama gue melakukan salat jumat

Serius?

Iya, mau?

Mau!
Jam berapa?

Mau dhuhur aja, biar langsung sholat dhuhur

Alhamdulillah
Udah hafal bacaannya?

Udah
Siap nih jadi imam lo

Heleh
Tapi...

Kenapa?

Gue lebih tua dari lo gimana?

Cinta itu buta dan tuli

Cot

Heh mulutnya!

Anis terkekeh. Sebentar lagi, satu langkah lagi menuju hari baru. Ia harap ini yang terakhir. Dulu, ia begitu menjaga hatinya untuk Raja, agar hubungannya tak berakhir begitu saja. Namun, semuanya sia-sia, Raja menghianati nya, baginya penghianat merupakan kesalahan terbesar yang tak akan ia maafkan. Sekarang, ia punya si Aan, laki-laki pertama yang bertekad menikahinya tahun depan, yang datang menghadap orang tuanya dengan kesungguhan hati yang luar biasa.

Kalau kalian ingin tau, dia adalah laki-laki yang amat bertanggung jawab. Menjadi seorang anggota Rexsan yang begitu dijaga nya, baginya Rexsan rumah kedua. Dia juga begitu menyayangi adik dan ibu nya. Mereka menjadi alasan lelaki nya bertahan. Ia tau semua itu dari Aan sendiri. Akan Anis beri tau siapa laki-laki itu, tapi nanti setelah dia berhasil menjabat menjadi tunangan Anis. Tunggu saja, akan Anis perkenalkan.

*:..。o○ ○o。..:*

Tak ada yang menarik di H-1 acara lamarannya. Anis hanya bisa berdiam diri dikamar, sedangkan dilantai bawah sedang sibuk dengan semua dekorasi untuk besok. Perasaan baru mau lamaran, bukan nikahan. Ia jadi teringat, hari ini si Aan minta ditemani ke Masjid Istiqlal. Ia segera bersiap, karena sebentar lagi juga masuk waktu dhuhur, sesuai keinginan calon tunangan nya itu.

"Mau kemana?" tanya Fenly yang kebetulan ada dirumah.

"Jalan sama ayang," balas Anis sambil mengikat tali sepatunya.

"Semoga bahagia ya sayang, have fun," ucap Fenly.

"Makasih pa,"

Fenly tersenyum menatap punggung putrinya yang semakin menjauh. Jujur, untuk saat ini, berat rasanya melepaskan Anis pergi dari hidupnya. Mungkin ini akan dirasakan seorang ayah ketika anak perempuan hendak menikah. Walaupun Anis bukan anak kandungnya, tapi kebersamaannya dengan Anis sudah terjalin sejak dulu. Anis benar-benar malaikat kecilnya, sampai kapanpun itu dan akan ia pastikan laki-laki mana saja yang menyakiti gadisnya, siap-siap saja, minimal ICU kalau perlu liang lahat.

"Kenapa, lo?" kan penyakit dateng.

"Terharu kan lo? Tau kan gimana rasanya mau ditinggal anak nikah?" sudah dipastikan mulut julit ini milik sahabat yang merangkap menjadi adik iparnya.

Anis tengah menunggu Aan di perempatan gang seperti yang dijanjikan laki-laki itu. Seharusnya, mereka bertemu dirumah Anis, tapi Anis melarangnya dengan alasan ramai.

"Siapa?" tanya Anis saat melihat anak kecil yang ada dijok belakang.

"Dia Agam, ade gue, dia bakal ikut kita,"

"Ikut mualaf?"

"Iya kak, biar bisa sama sama terus sama abang," Anis tersenyum. Ini yang ia suka.

"Gemes banget sih," kekeh Anis. Anak laki-laki berusia 9 tahun itu tersenyum simpul. Menambah kesan gemasnya.

"Yuk, jalan," dua motor mulai menelusuri jalanan kota, mereka berjalan beriringan. Sesekali Anis menoleh dan tersenyum melihat kedekatan keduanya. Nanti saja ya, Anis memberi tau siapa itu Aan.

Soalnya mau ada cerita khususnya:v

Beberapa saat kemudian mereka telah sampai di sebuah masjid besar, mereka tersenyum saat halaman masjid terlihat ramai, karena sebentar lagi memasuki waktu dhuhur.

"Permisi, mau tanya imam siang ini siapa ya?" tanya Anis pada salah satu marbot yang tengah membersihkan teras masjid.

"Oh, itu mba, Ustadz Ali," jawabnya sambil menunjukkan lelaki parubaya yang tengah berjalan kearah mereka.

"Assalamu'alaikum,"

"Waalaikumsalam, ada apa ini rame-rame?"

"Ustadz, alhamdulillah, temen saya mau mualaf dan memulai ibadah dimasjid ini,"

"Alhamdulillah, berapa orang?"

"Saya sama adik saya ustadz,"

"Mari kita berbicara sedikit tentang Agama Islam," mereka bertiga pun menuju area dalam masjid, disana sudah terdapat beberapa jamaah yang hendak solat dhuhur berjamaah.

"Mualaf bukan karena perempuan kan?" tanya Ustadz Ali sambil sesekali melirik Anis.

"Insya Allah bukan ustadz. Kebetulan, disekitar saya kebanyakan orang muslim dan saya merasa tenang bila melihat mereka ibadah, apalagi saat mereka membaca Al-Quran," jelasnya. Ustadz Ali tersenyum mendengar jawaban lelaki didepannya.

"Baik, mari ikuti saya membaca dua kalimat syahadat,"

"Baik, ustadz," Anis tersenyum saat mendengar lelaki yang akan melamarnya itu begitu lancar membaca dua kalimat syahadat.

"Alhamdulillah," ucap keduanya setelah membaca syahadat. Kemudian dilanjutkan Agam, sesuai yang dijanjikan kalau ia akan membawa adiknya bersamanya.

"Alhamdulillah, sebentar lagi masuk sholat dhuhur, apakah sudah tau cara berwudhu?"

"Sudah ustadz,"

"Kalau begitu, mari kita ambil air wudhu dan mulai sholat berjamaah,"










Alhamdulillah, si calon suami udah mualaf.

Mak, siapa sih si Aan itu? ~ Readers

Masih rahasia dong, udah dispil dikit tuh, bakal ada cerita yang beda lagi buat mengisahkan si Aan, stay tune ya

Nb : Jangan jadi silent readers ya. Hargai penulis/author dengan memberi votmen dan jika tidak suka dengan alurnya bisa pergi, boleh memberi masukan asal tidak menghina, paham?

Anis Shakila (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang