23

34 8 6
                                    

"Ngomong apa sih, gue ga suka ya lo ngomong gitu," ketus Anis.

"Umur ga ada yang tau, Nis," perlahan mata indah milik Jeno tertutup.

"Jen, lo harus yakin kalau nanti kita menang,"

"Menang itu pasti didapatkan ReGa, tapi menang dengan anggota yang masih lengkap gue ga yakin,"

"Janji jangan tinggalin gue, please,"

"Ga ada niatan sedikitpun dihati gue buat ninggalin lo. Tapi kalau takdir kita cuma sampai disini, kita bisa apa, Nis. Gue sayang lo, begitupun sebaliknya, tapi maut mengintai kita. Bukan lagi pelakor atau pebinor yang akan jadi pemisah kita, melainkan malaikat maut," ucap Jeno sambil tersenyum. Tanpa disadari, air mata Anis meluruh begitu saja.

"Jangan nangis, lo kan kuat,"

"Lo tau ga sih, sikap lo kayak gini buat gue semakin takut. Ada sekitar 400 lebih nyawa yang ikut andil termasuk papa sama sepupu gue, tapi kenapa firasat ga enak malah ke lo, apa ini tandanya lo mau pergi?"

"Jangan suudzon sama takdir, Nis, ga baik,"

"Jen, jangan nambahin, gue takut banget kehilangan lo,"

"Insya Allah,"

Hening.

Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Jeno tak mau suudzon, tapi apa salahnya ia memberikan kesan terakhir kalau semisal ia menjadi korban. Sedangkan Anis, ia takut kalau Jeno menjadi korban, bukan masalah batal menikah, melainkan ia sudah sepenuhnya membuka hati untuk Jeno Akrian. Lelaki yang ia kenal melalui sepupunya, Arkan.

Awalnya, ia sedikit ilfil dengan Jeno, karena sikapnya yang begitu dingin dan irit berbicara. Namun, saat sudah mulai mengenal nya, Jeno asik juga. Saat itu, ia dan Jeno pernah berbicara berdua, itupun Jeno mewakili Arkan yang tengah pergi. Untuk pertama kalinya, Jeno mengatakan Anis cantik.

"Jangan sedih, gue akan berusaha kita bareng-bareng terus," Anis hanya mengangguk.

"Inget ga, disini gue nolongin lo dari Dymasius,"

"Inget,"

Suasana malam begitu sunyi. Seorang gadis SMA nampak berjalan sendirian. Ponselnya mati dan tak ada satupun kendaraan yang lewat akibat hujan dan waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam.

Langkahnya terhenti saat beberapa motor mulai mengelilinginya. Ia nampak bingung, kenapa mereka mengepungnya?

"Siapa kalian?"

"Wih bener, lo anaknya Fenly kan?"

"Gue tanya siapa kalian!"

"Wih ga usah galak-galak neng,"

Salah satu dari mereka mengisyaratkan untuk menyerang. Mau tak mau Anis harus melawannya sendiri. Namun, tenaganya tak sekuat mereka, mereka berjumlah 5 orang sedangkan dia sendirian. Ia mulai tersungkur.

"Weh! Beraninya sama perempuan!" teriak seorang pemuda yang baru saja turun dari sepeda nya.

"Ck, bocil ternyata, serang gays,"

Pemuda yang tak lain adalah Jeno mulai melawan mereka. Perlahan tapi pasti kelima pemuda tersebut dapat terkalahkan.

"Dymasius?" gumamnya saat mereka semua pergi.

"Kakak ga papa?"

"Ga papa, lo?"

"Aman, gue anterin pulang ya, disini emang rawan anak motor," mau tak mau Anis mengangguk dan menaiki sepeda milik Jeno.

Anis terkekeh mengingatnya. Dulu Jeno terlihat begitu cupu. Darimana ia tau? Tentunya gelang yang dipakai Jeno. Gelang tersebut hanya dimiliki oleh keturunan Georges, keluarga dari Angel, ibu Jeno.

"Lo dulu lucu, Jen,"

"Dan lo dari dulu ga berubah," balas Jeno.

"Tambah tomboy maksudnya," kekehnya.

"Ih, ngeselin!"

*:..。o○ ○o。..:*

Pukul 3 pagi, Anis baru saja menginjakan kakinya dirumah. 3 jam ia habiskan bersama Jeno ditaman kota. Mereka tak melakukan apapun, Jeno yang berbaring dipangkuan Anis sambil mengobrol singkat tentang pernikahan mereka nanti. Hanya itu, tak lebih. Bagi Anis itu menyenangkan, apalagi Jeno begitu mencair saat bersamanya. Berbeda saat bersama Rexsan, begitu dingin.

"Bagus ya, anak gadis jam segini baru pulang," ucap seorang pria yang tengah duduk disofa tamu.

"Eh, ma-maaf,"

"Kemana aja?"

"Taman, sama Jeno,"

"H-1 minggu pernikahan kalian, kalian dilarang bertemu, paham?"

"Ish, masih tanggal 27 Desember, sedangkan nikahnya tanggal 5 Januari, masih lama lah," kesalnya.

"Itung coba," Anis menurut. Ia pun menghitung dari hari ini sampai tanggal 5.

"Hehehe 10 hari lagi,"

"3 hari lagi perang, istirahat yang cukup. Setelah itu langsung persiapan pernikahan,"

"Iya, pa,"

"Ya udah, sana tidur, lagi sholat ga?' Anis menggeleng. Fenly mengisyaratkan pergi menggunakan tangannya. Ada rasa ragu dihatinya tentang perang itu. Bukan ragu masalah menang atau kalah, tapi keselamatan putrinya. Ingin sekali melarang, tapi Anis merupakan orang penting didalam Ganapati. Ia tak bisa mementingkan egonya, baginya, tanggungjawab nomor satu.














Maaf banget kalau part ini pendek. Insya Allah kedepannya lebih panjang.
See you di tanggal 30 Desember 2022 sama 5 Januari 2023.

Nb : Jangan jadi silent readers ya. Hargai penulis/author dengan memberi votmen dan jika tidak suka dengan alurnya bisa pergi, boleh memberi masukan asal tidak menghina, paham?

Anis Shakila (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang