..
"Loh Reshaya?"
Resha mengerjap, tersenyum canggung melihat laki-laki yang sudah berdiri tegap di depannya, akhirnya Resha bisa bernafas lega, setidaknya kekhawatirannya akan di culik menurun sedikit.
"Sore pak." Arlo berdehem, setelahnya Dia mendekat ke arah Resha dengan perlahan.
"Kamu ngapain malem-malem masih di sini?" Pertanyaan itu meluncur dengan mudah dari bibir Arlo.
"30 menit yang lalu saya baru selesai kerja pak." Jelasnya. Resha balik menatap Arlo.
"Oh.. Terus?"
"Mau nemenin mba em-" Balasannya terpotong. dengan suara perempuan yang sedari tadi mengamati keduanya.
"Ehm! Dicuekin nih!"
Arlo sudah siap untuk menendang Perempuan yang mengganggu waktu yang Ia ciptakan untuk sekedar berbasa-basi dengan salah satu anak bimbingannya tersebut.
"Ayo, ayo pulang- Resha ayo masuk." Perempuan itu mendorong Resha pelan pada mobil Arlo, menuntunnya pelan sembari membuka pintu mobil.
"Ngga usah Pak, Mba-" Resha mencoba menolaknya. Ia mungkin takut akan kriminal di malam hari, tapi membiarkan dirinya merepotkan Orang lain, Resha rasa Dia tidak berani.
"Ngga! udah ayo! Kamu tadi udah nungguin saya- lagi pula malem-malem ngga ngejamin kamu bakal aman lho."
Menakut-nakuti remaja dinhadapannya sejujurnya bukanlah hal yang bijak. Namun, dia tidak bisa membiarkan penolongnya kenapa-napa. Maka dengan begitu, Resha hanya pasrah mengikuti titah dari perempuan tersebut.
"Aw!" Perempuan itu menjerit, Arlo menamparnya keras di bagian lengan atasnya setelah Ia mencoba menuntun Resha.
"Jangan nakutin Dia." Arlo mengomel, melirik Anak dari bibinya dengan sebal, si Perempuan hanya mendengus sebal.
"Santai aja kale." Resha tak tahu- mumet melihat pemandangan di depannya.
"Ayo Res." Tangan Resha dituntun Arlo, meninggalkan satu orang yang masih memasang wajah sebal, dan mencibir di luar mobil.
"Buru masuk!" Teriak Arlo mengagetkan Resha. Lalu Arlo mengusap kepala Resha, sembari meminta maaf dengan suaranya yang berat. "Kaget ya?"
Resha menggeleng, namun mengangguk dengan pelan. "Sedikit."
Perjalanan di dominasi dengan suara Perempuan tadi yang mengaku bernama Safna.
"Diem saf- Resha butuh istirahat." Resha menggeleng, bukti bahwa Ia tidak keberatan akan kebawelan Safna yang sepertinya sudah mendarah daging.
"Oh anw. kalian berdua ini kenal ya?" Resha hanya diam, penasaran jawaban apa yang akan di berikan oleh Arlo.
"Saf." Arlo memperingati, agaknya Ia sudah habis kesabaran menangani Safna.
"Iya-iya galak banget macan tutul." balasnya pasrah. Sedangkan Resha hanya tersenyum dengan interaksi keduanya.
Safna mengamati dua penumpang di depannya dengan curiga.
Memang safna yang meminta Resha untuk didepan, tapi walau begitu, suasana di antara keduanya membuatnya penasaran setengah mati, Kira-kira apa yang sebenarnya terjadi di antara keduanya.
Dari tangan Arlo yang mengusap-usap helaian rambut Resha, lalu memberikan blanket kecil yang memang sudah terbiasa dan tersedia di mobil Arlo. Menurunkan kursi supaya Resha merasa lebih nyaman.
Safna pikir, jika sekarang Ia hidup dalam novel, maka mobil sudah pasti dipenuhi dengan gradasi serta bunga-bunga yang bertebaran, layaknya kisah Romantis pada umumnya- lalu radar pelangi pun tercium dari hidungnya.
"Lo emang tau alamat rumah Resha Ar?" Safna bertanya dengan penasaran, takut-takut Arlo tak tahu alamat rumah Resha, nanti malah runyam.
"Tau." Jawaban singkat Arlo membuat Safna menatap Arlo dengan sebelah alis yang terangkat. "Yeu! Dasar kodok!"
..
"Eegh~"
Terakhir, kemarin. Resha terkejut tiba-tiba sudah sampai di depan rumah sederhananya itu.
Dan Ketiganya sudah di luar mobil, tubuh Resha seolah melayang, lalu mata sipitnya mendapati siluet Safna dari kejauhan.
Tengah mengetuk-ngetuk pintu rumah, itu Rumah miliknya. Tak lama sang Ayah beserta Ibunya keluar memperlihatkan wajah pucat di antara wajah keduanya.
Entahlah apa alasan Resha tak kunjung turun dan segera masuk ke dalam rumah dalam keadaannya masih terasa melayang.
Setelah beberapa saat berbincang bincang, bisa Resha lihat bahwa kedua orang tuanya mengusap dada sembari melemparkan senyum lega.
Resha tak tahu apa yang mereka bicarakan.
Resha yang nyawanya belum terkumpul seratus persen itupun hanya bisa diam sembari menyatukan kedua tangannya untuk di kalungkan ke leher orang yang sekiranya Ia kira mengangkatnya.
Tak kunjung tahu suara pelan apa, dan akhirnya sampai di kamar minimalis Resha, setelahnya Resha tak ingat apa-apa lagi.
..
Hari ini Resha tak ada kegiatan termasuk jadwal kuliah, berakhir Dia memutuskan untuk membantu Ayah beserta Ibunya kerja.
Ayah dan Ibu Resha bekerja di kedai makan yang kecil- kecil sekali hingga hanya bisa melayani pesan tanpa bisa makan di tempat.
Yah, meskipun tak ramai tapi tetap saja- itu sumber penghasilan satu-satunya yang didapat dari kedua Orang Tuanya.
Dan sekarang Resha sudah berdiri di belakang etalase makanan kedai sewaan milik Orang Tuanya, sembari menghitung beberapa pengeluaran.
Resha merasa bersyukur karna Tuhan dengan murah hati mau membuatnya lahir kembali dan bisa menjadikannya pribadi yang lebih baik.
Dan kabar yang lebih membahagiakan, dan itu baru saja terjadi. Hingga Resha mengura-ngira.
Apa Tuhan sedang berpihak padanya? Ibunya terlihat sangat antusias karna katanya pelanggan hari ini meningkat- yah Semoga saja hari-hari seperti ini tetap bertahan dan terus berlanjut.
Ayahnya yang terlihat ceria kali ini di belakang sana, dan Reshaya sadar sekarang, bahagianya bukanlah soal materi- apalagi popularitas.
Bahagianya sederhana, melihat kedua Orang Tuanya tersenyum ceria- hatinya yang redup kini mulai cerah kembali- tak ada lagi rasa iri terhadap kehidupan orang lain yang lebih beruntung dari hidupnya.
Dan pada akhirnya, memang benar, Resha mulai sadar bahagia memang sesederhana itu.
..
KAMU SEDANG MEMBACA
Reshaya.
RandomThe one and only. -Tidak di peruntukan bagi yang masih di bawah umur. Bijak dalam mencari buku yang akan di baca sesuai kebutuhan. Mohon kerja samanya.