12.

15.6K 1.5K 17
                                    


..


Baru sehari Resha tidak masuk kuliah, dan entah bagaimana bisa, suasana terasa begitu berbeda dari hari biasanya. Tentu saja sedikit mengganggu pikirannya.

Lalu semilir angin yang membawa berita mengenai pencabutan kedudukan si pemimpin, sekaligus penanggung jawab tertinggi dalam organisasi eksekutif mahasiswa, juga sudah tersebar luas- hingga membuatnya terkejut bukan main.

Lagipula, siapa yang akan mengira, Axel dengan mudahnya menyerah tentang hal-hal seperti ini, Ini tidak seperti kepribadian egois miliknya.

Dia bisa saja menyerangnya dari berbagai arah, dan membuatnya terlihat seperti Resha lah si pembuat onarnya.

Sesaat setelah Ia pergi dari area depan sana yang terasa aneh, ternyata di dalam aula kampus pun, jua tak luput dari huru-hara perasaan aneh. Beberapa dari mereka menyapanya.

Ini membuat perasaan Resha menjadi tidak nyaman. Bukan tidak suka di sapa, tapi lebih seperti, Dia tidak pernah menginginkan ini.

Kalau di kehidupan sebelumnya mungkin Resha akan dengan senang hati menikmatinya, tapi ini bukan dulu. Resha tak ingin semua ini, dia tak ingin atensi ini kembali tertuju lagi padanya.

Resha tak menyukai keramaian yang menyesakkan, serangan rasa panik akan dengan senang hati memukulinya bertubi-tubi jika mulai merasa tak nyaman.

Apa lagi, hari ini Gilang tak ada kelas. mau tak mau dia harus sendirian menghadapi berbagai perhatian yang sudah terlanjur mengarah padanya.

Ini sudah terasa begitu melelahkan.

..


Sepanjang kelas dimulai, Resha menghabiskan waktunya untuk melamun. Memikirkan bagaimana caranya supaya Ia bisa menghasilkan uang lebih untuk sekedar membantu Orang Tuanya merenovasi Rumah.

Dengan tanpa Orang Tuanya harus tahu Resha berjuang, dan tetap percaya apa yang Resha lakukan semata tulus untuk membantu mereka.

"Itu yang di pojok, kalo ngga mau ikut kelas mending keluar aja." Resha sontak mengalihkan pandangannya ke arah Dosen yang baru saja menegurnya.

"Resha bego!" Umpatnya dalam hati.

"Maaf pak, tidak akan saya ulangi lagi." Permintaan maafnya tak di balas, sang penegur hanyalah menghela nafas, lalu kembali melakukan pekerjaannya.

Tak bisa bernafas lega rasanya. Kenapa hari benar-benar sial untuknya? Seolah di tujukkan untuknya bermain-main.

..


"Kamu sakit?"

"Eh? __engga pak." Tersentak saat punggung tangan yang terasa dingin, entah dari mana hinggap di dahinya.

Resha, memundurkan langkahnya untuk sekedar memberi jarak antara Dia, dan Arlo yang terasa begitu dekat dengan wajahnya, dengan tangan Arlo yang masih nempel di dahinya.

"Terus kenapa dari tadi bengong?" Tanya Arlo.

Resha mengerjap, mulutnya terbuka "Ya? __engga kok pak."

Resha gelagapan sesaat setelah melihat Arlo menaikkan sebelah kanan alisnya- 'Kenapa ya om-om itu lebih menggoda?' Batinnya bergemuruh.

Resha menepuk pipinya sendiri, merasa kurang ajar atas pemikiran aneh tersebut, yang lantas mengundang rasa penasaran dari Arlo.

Resha tertawa canggung. "Saya, ngantuk doang kok pak."

Tidak mungkin Resha menjawab dengan jujur, bahwa sebenarnya Ia sedang memikirkan uang.

"Makasih ya pak kemarin lusa, udah nganterin saya." Resha berujar dengan tiba-tiba, sembari memberikan senyum terbaiknnya.

Lagi-lagi Arlo hanya menaikkan sebelah alisnya saja.

"Maaf juga ya pak, tadi kelas sempet keganggu gara-gara saya." Resha menundukkan kepalanya merasa bersalah.

"Ngga masalah __saya pikir malah kamu bakal ngambek sama saya." Netra Resha melebar mendengar ungkapan Arlo. Ya maksudnya kan mau Resha ngambek juga ngga berhak, kan dia bukan siapa-siapanya Arlo. Apa lagi itu emang salah Dia yang malah bengong padahal dosen lagi sibuk ngejelasin.

"Ngga mungkin sih Pak." Resha terkilik. Namun, bagaimana pun Dia berfikir dengan begitu rumit. Yang hanya bisa ungkapkan hanyalah sepotong kata singkat.

Suara di sekitarnya sudah sunyi, hanya ada suara gesekan dedaunan, sepoi angin yang menyejukkan. keduanya sibuk memikirkan kata-kata apa lagi yang harus di ucapkan.

"Pak."

"Resh." Suara yang keluar dari belah bibir keduanya itu bertabrakan. Keluar secara bersamaan. Membuat keduanya juga hanya bisa tertawa dengan kikuk.

"Bapak duluan aja." Pinta Resha, mendahulukan yang lebih tua darinya.

Meskipun Arlo di persilahkan untuk mengatakannya lebih dulu, pada akhirnya Dia hanya memperhatikan wajah Resha dengan lamat. Dengan memfokuskan pandangannya ke arah kelopak mata Resha yang tidak lebih terlihat seperti rubah.

Resha menggaruk belakang kepalanya bingung, dan merasa menjadi lebih canggung, karna Arlo yang tak kunjung mengeluarkan satu patah katapun dari mulutnya.

"Pak, kalo ngga ada yang mau di tanyain saya pulang aja ya." Resha hendak pergi tapi belum sempat melangkahkan kaki, tangannya sudah terlebih dahulu di tahan.

"Pulang sama saya." Arlo memutuskannya dengan singkat, bukan pertanyaan, bukan tawaran. Melainkan ketetapan.

"Eh.. Ngga pak! Ngga usah!" Wajah Resha panik, netranya makin melebar.

"Kenapa?" Gelagapan, Resha bingung harus menjawab apa.

"Beneran pak ngga papa- kita kan ngga searah juga, nanti malah merepotkan." Memikirkan segala alibinya, meski sebenarnya Ia tidak tahu kenyataannya.

"Kata siapa?" Arlo bertanya, tubuhnya condong ke arah Resha.

"Tapi- bapak selalu lewat dari arah yang beda dari tujuan saya." Balas Resha sedikit tak yakin, masih mempertahankan kebohongannya.

Arlo tak memberi kesempatan Resha untuk menolak lagi. Laki-laki itu meraih jemari Resha dengan pelan, dan menuntunnya menuju mobil mahal miliknya.

Jantung Rehsa berdegup kencang, karna akan pulang bersama. Arlo yang menurut Resha begitu harum. harum Pria maskulin yang sulit dilupakan, dan itu yang membuat Resha selalu teringat Arlo, karna harumnya yang selalu tertinggal di area indra penciumannya.

Meski begitu, Ia akhirnya hanya menurut. Hanya sedikit pusing harus bagaimana nanti kalau sudah sampai, perlukah Ia mengajaknya masuk atau tidak? Karna Resha tau tidak ada orang dirumah, itu tidak di anjurkan.


..

Reshaya.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang