2. Perkara 250

116K 10.6K 264
                                    

Nara mengatur titik tuju juga titik jemput dalam aplikasi ojek online-nya namun ketika muncul menu konfirmasi jari Nara malah berhenti. Wajahnya mendongak, menatap kendaraan yang berlalu-larang di depannya. Sebagian besar anak-anak sudah pulang. Termasuk Rega dan Keysha yang tadi melambai kepadanya.

Perasaan Nara masih saja kacau meski berulang kali ia menekan diri untuk tidak merasa begitu, tapi ternyata hatinya lebih bebal dari yang dia kira. Rega tak salah mengatainya kekanakan, dirinya ternyata memang seperti itu.

Nara menggulir ponselnya, keluar dari aplikasi itu. Niatnya ia ubah. Ia berjalan untuk menyetop angkot. Mood Nara setidaknya harus diperbaiki dulu sebelum ke rumah. Mungkin dengan mewujudkan keinginannya pergi ke toko buku.

Dan hasilnya tak terlalu buruk. Nara merasa senang begitu novel bergenre fiksi sejarah yang diincarnya sudah ada di dalam genggaman kini. Suasana hatinya baik. Nara bisa tersenyum dan bahkan ikut menyenandungkan lagu yang diputar di sana.

Nara juga tak langsung pergi ke kasir. Ia akan manjakan dirinya dengan membeli beberapa buku lainnya juga. Kebetulan uang jajan bulanannya sudah ditransfer sang Papa dua hari lalu dan ada bonus karena Nara menang lomba.

"Itu kayak buku punya Pak Abdi." Nara membekap mulutnya agar tak menjerit sementara matanya sudah berbinar melihat buku kumpulan soal kimia yang pernah gurunya rekomendasikan.

Itu buku yang diterbitkan sudah lama, hingga keberadaannya di pasaran cukup langka. Dan Nara sangat mensyukuri keberuntungannya yang bisa menemukannya sekarang.

Nara setengah berlari untuk meraih buku itu. Namun dari arah berbeda sebuah tangan juga meraihnya.

"Naresh?" ucap Nara begitu bersitatap dengan orang yang kini memegangi buku yang sama dengannya itu. Ah, si menyebalkan itu. Kenapa bisa-bisanya Nara bertemu di sini sih.

Nara menarik buku itu, namun di detik berikutnya Naresh juga melakukan hal yang sama. Hingga buku itu bergerak ke kanan-kiri mengikuti siapa yang memberikan tenaga lebih dominan.

"Gue duluan." Nara merapatkan gigi dengan mata yang agak dipelototkan pada cowok itu.

"Kalo lo duluan, tangan gue nggak mungkin bisa pegang bukunya," balas cowok itu dengan raut datarnya. Mungkin jika dinarasikan maksudnya dia tak akan kalah hanya dengan pelototan Nara. Tubuhnya lebih besar. Naresh tak akan terpengaruh oleh ancaman cewek pendek itu.

"Tapi gue duluan yang lihat. Gue liat buku ini dari jauh."

"Ada saksi buat buktiin gue atau lo dulu yang lihat?"

Nara berdecak, susah ya ngomong sama cowok yang mungkin ketika dalam masa penciptaannya tidak sengaja tercampur cairan resin sampai keras seperti ini.
Nara memang sudah mengira akan jawaban sarkas cowok itu. Justru sangat bukan Naresh jika dia mengalah dengan mudah pada Nara. Namun, tetap saja ketika mendengarnya langsung, Nara kesal juga. Padahal Nara selama ini sudah mewanti-wanti untuk tidak berurusan dengan cowok itu sebagai bentuk cinta pada kondisi emosionalnya.

"Perlu minta rekaman CCTV sekalian?"

"Bukan hal buruk buat dicoba."

Nara memutar bola mata. Gila saja harus repot sejauh itu hanya demi menentukan siapa yang lebih dulu. Nara mengangkat tangan kanannya dan tanpa harus ada komando Naresh juga mengangkat tangannya yang tidak memegang buku.

"Kertas, gunting, batu!"

Tangan Naresh dan Nara sama-sama terulur membentuk batu.

"Kertas, gunting, batu!" ulang Nara yang langsung mendapatkan kekeh dengan senyum satu sudut dari Naresh karena kini dia menang.
Naresh menarik bukunya, namun dengan cepat Nara juga membuat pertahanan.

Selingkuh, Yuk? [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang