22. Masak

92.4K 11.9K 1K
                                    

Liat pengorbananku menghajar kemageranku yang menggunung buat keluar beli paketan.
Kalo nggak komen bawel, aku hih kamu.

oOo

"Tante, ininya mau dikemanain dulu?" tanya Nara seraya mengeluarkan daging dari dalam keranjang belanjaan.

"Panggil Bunda aja." Julia mendekat. Menyodorkan sebuah wadah pada Nara. "Masukin sini."

Nara mengangguk kemudian mengambil pisau untuk merobek plastik pembungkusnya.

"Kamu udah biasa masak ya? Keliatan nggak jijik pegang-pegang daging mentah gitu."

Nara tersenyum. "Suka belajar sama Mama."

"Pinter di sekolah, pinter juga di dapur. Wah impian banget ini." Julia beralih ke sisi meja yang lain. Ia mengeluarkan telenan juga pisau lalu mulai memotongi sayuran.

"Bunda seneng loh bisa ketemu kamu lagi. Ngobrol sama kamu tuh enak, nggak perlu pake leher. Capek Bunda ngobrol sama orang-orang di sini, harus nengadah mulu. Ayah tinggi, Cheryl tinggi, Naresh apalagi udah kayak tiang listrik."

Nara tertawa kecil. Nara tahu yang Julia rasakan. Dia juga suka begitu jika menghadapi Naresh. Meski kadang cowok itu suka berbaik hati dengan membungkukkan tubuhnya biar bisa sejajar dengan Nara.

"Aku juga pengen tinggi, tapi mentok di 155. Mungkin faktor gen," papar Nara. Ia kemudian teringat akan celaan yang Naresh berikan untuk tinggi badannya. Nara menggeleng, pujian untuk Naresh barusan Nara batalkan.

"Selain faktor gen sebenernya tinggi itu tergantung sama motivasi. Naresh tuh punya motivasi kuat banget buat tinggi, waktu SMP segala macam club olahraga dia ikuti biar punya tubuh yang tinggi dan sehat. Sampe-sampe kakaknya aja kalah tinggi sekarang. Udah kayak raksasa dia."

"Oh ya?"

Julia mengangguk semangat. "Bunda kalo inget motivasi Naresh suka susah berhenti senyam-senyum."

"Loh emangnya motivasinya apa Bunda?" Nara bertanya penasaran. Siapa tahu dirinya bisa meniru. Meski sekarang mungkin sudah agak terlambat.

"Bunda jangan ngajarin anak orang ghibah," suara berat Naresh tiba-tiba mengisi ruang dapur itu. Ia menghampiri Nara dengan satu apron di tangan.

"Bunda nggak ngajarin  ghibah."

"Terus yang barusan itu apa?"

"Kita cuma ngobrol-ngobrol seru 'kan Nara ya?"

Nara tertawa kecil seraya mengangguk. Ternyata Naresh dan Bundanya punya tipe interaksi yang seru. Mulut lemesnya ternyata bukan karena kurang ajar, tapi hak patennya sudah seperti itu.

"Ngeles," ucap Naresh yang kemudian mendekat ke arah Nara.

"Beneran mau bantuin di dapur?" tanya Naresh pada cewek itu.

"Daripada gue bengong. Nggak ngapa-ngapain rasanya aneh banget."

Naresh menatap Nara, membuat cewek itu juga membalas dengan kerutan di dahi. "Kenapa? Nggak boleh? Gue nggak bakal bakar dapurnya kok."

Naresh mendengkus kemudian menyodorkan apron. "Pake ini."

"Oh iya." Nara teringat belum melindungi bajunya. Ia hendak menerima apron itu namun sadar kedua tangannya kotor karena habis memindahkan daging.

"Hadap sini," suruh Naresh.

Nara menurut. Naresh pun memasukkan tali pada kepala Nara. Memutar tubuhnya lalu membuat simpul di belakang.

"Makasih," ucap Nara kemudian melanjutkan kegiatannya. Naresh hanya melihatnya hingga matanya terpaku pada lengan panjang baju yang dipakai cewek itu.

"Sini tangan."

Selingkuh, Yuk? [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang