[3 Tahun Lalu]
Nara kebingungan. Dia tadi hanya berniat membeli minuman, namun karena menunggu uang kembalian rombongannya sudah pergi entah ke mana. Setinggi apa pun Nara meloncat-loncat, jejak orang-orang itu tidak bisa Nara temukan.
Nara meremas rok berwarna birunya. Dia mulai cemas. Ini di tempat orang lain. Pertama kali juga Nara berpergian begitu jauh tanpa Mamanya. Bagian terparahnya Nara tak ingat nama hotel tempat ia menginap dan tidak tahu cara naik kendaraan umum. Meski kelas 8 SMP sudah tergolong besar untuk hal sesederhana itu, tetapi Nara yang seumur hidupnya ini selalu diantar-jemput sang Mama benar-benar kebingungan.
Nara terus menoleh ke sana ke mari, berharap mendapatkan petunjuk. Di sini banyak sekali orang, dari berbagai penjuru negeri. Dan Nara tersesat di acara yang bertarap nasional itu.
Nara mengaduh begitu bahunya tidak sengaja berbenturan dengan orang lain. Ia menunduk meminta maaf, kemudian melanjutkan langkah yang sebenarnya Nara juga tidak tahu akan ke mana. Ia ingin bertanya pada orang, namun dirinya tidak tahu apa yang harus ditanyakan. Tempat ini dikelilingi jalan raya hingga pintu masuknya tidak hanya satu, dan Nara tak ingat tadi dirinya masuk dari arah mana.
Jangankan menemukan parkiran, keluar dari gedung yang strukturnya mirip bangunan rumah sakit ini saja Nara tidak tahu. Dia seperti terjebak dalam labirin.
Nara mengetuk-ngetuk kepalanya. "Ini gimana?"
Nara mencoba menghubungi pembimbingnya, namun hanya jawaban operator yang berkata tidak aktif. Berulang kali mencoba, hasilnya tetap sama.
Langkah kakinya tetap terayun, mencoba mengingat-ngingat dari mana tadi dia datang. Namun, bukannya menemukan solusi, Nara malah merasa sedari tadi dirinya berputar-putar saja.
10 menit berlalu, Nara yang terluntang-lantung tak jelas itu mulai merasakan sakit pada kakinya. Ia pun memutuskan untuk menepi dan duduk di sebuah kursi. Bahunya sakit, tak terhitung sudah berapa banyak bersenggolan dengan orang karena kepalanya sibuk menengok hingga tak menyadari sekitar.
"Mama, kalo Nara nggak bisa pulang gimana?" Nara bergumam dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca. Ia pun juga berusaha menghubungi Mamanya yang jauh di sana berharap bisa memberikan bantuan, namun naasnya nomor Mamanya juga tidak aktif.
Nara mulai menunduk menutup wajahnya dan menangis. Dirinya tidak biasa berada di luar apalagi sendirian. Kilasan-kilasan hal buruk kini berhamburan menyerang benaknya. Membuat dadanya terasa terhimpit ketakutan. Hanya sendirian, tidak ada yang membantu, tidak ada yang peduli.
"Mama, Nara ta-kut. Angkat te-lepon Nara.. ."
"Nara?"
Mendengar namanya disebut Nara pun sontak mengangkat wajahnya. Ada Naresh yang terlihat menatap penuh bingung.
Air mata Nara semakin banyak keluar, dia terlalu senang karena akhirnya ada yang menemukan dirinya. Si partner lombanya."Kenapa di sini sendirian?" tanya Naresh dengan wajah penuh tanya apalagi melihat Nara yang penuh air mata. "Kalo nyasar gimana?"
"Gu-gue emang nya-nyasar." Nara menepis air mata dengan lengannya. "Ta-tadi ke-ketinggalan."
Naresh menghela napas. "Makanya jangan ngikutin grup cewek, mereka suka heboh sendiri sampe nggak nyadar ada yang ilang."
"Ja-jangan di-dimarahin gu-guenya, ma-masih takut tau."
Harusnya Nara menghentikan tangisnya karena sudah bertemu Naresh. Tapi memang dasarnya Nara yang kalau sudah nangis susah berhenti, sekarang dia semakin sesegukan.
Naresh menghela napas. "Kenapa nggak coba telepon?"
"Pa-Pak Irfan nggak ak-aktif."
"'Kan bisa ke gue. Kita sama-sama join grup peserta."
KAMU SEDANG MEMBACA
Selingkuh, Yuk? [TAMAT]
Ficção AdolescenteNara memergoki pacarnya berciuman dengan sahabat terdekatnya. Sakit hati, rasa dikhinati, semua berkumpul memenuhi rongga dadanya. Belum lagi orang-orang yang akan menatapnya iba. Berkata seberapa menyedihkan dia, ditikung sahabat sendiri. Tidak, it...