18. Heimlich Manuever

88K 10.1K 337
                                    

Nara membawa Naresh pada bangku paling pojok. Agar lebih tenang dan tidak mengganggu yang lain, meski yang lain juga itu masih termasuk kemungkinan. Minat baca anak-anak di sini sangat rendah. Perpus hanya dikunjungi sedikit orang, padahal buku yang dijajakan bagus-bagus.
Ya Nara sendiri juga menyalahi aturan, dia datang untuk makan.

"Gue belum tau kesukaan lo apa, tapi lo bisa request nanti gue bikinin." Nara mulai membuka tasnya lalu mengeluarkan dua kotak bekal.

"Bikinin?"

Nara mengangguk. "Mulai sekarang gue bakal bawain bekal buat lo tiap hari."

Naresh terlihat kaget.

"Ya mungkin di mata lo nggak meyakinkan tapi gue bisa masak. Karena nggak punya kegiatan di luar jadi biasanya gue belajar masak sama Mama. Kata Mama enak kok, kalo misalnya menurut lo kurang, lo jangan langsung benci, besoknya gue bakal revisi kok. Sebutin aja kurangnya apa."

Nara menatap Naresh meyakinkan. "Gue cepet belajar loh, Resh," ucapnya penuh bangga.

"Nggak usah."

Nara memberengut. "Resh nggak baik loh nolak kebaikan orang."

"Maksudnya nggak perlu terlalu repot belajar buat gue, selama bisa dimakan gue bukan orang rewel."

"Gue kira lo nggak mau gue bawain makanan."
Nara mengusap dadanya lega. Wajahnya terlihat riang dengan senyum kecil yang selalu tercetak. Namun Naresh tahu di balik semua itu ada benang kusut yang sangat sulit terurai.

"Na?"

Nara mendongak dengan mata berbinar. "Apa?" Senyumnya manis sekali.

"Kalo gue bilang sesuatu, lo mau lakuin?"

Binar di mata Nara kian bertambah. Dia bahkan terlihat antusias. Nara mana mungkin melewatkan kesempatan. Kalau Naresh menggunakannya, artinya dia pun bisa menggunakan cowok itu. "Pasti, selama gue mampu. Kalo nggak pun gue bakal berusaha sebisa mungkin," tekadnya kuat. "Lo mau gue apa?"

"Jangan berburuk sangka sama orang."

Senyum Nara sedikit luntur. Raut bingung merayap mengkontaminasi wajah cerahnya itu. Yang Naresh ucapkan melenceng jauh dari yang Nara kira. Maksudnya Nara pikir Naresh akan menyuruh Nara melakukan sesuatu. Misal ngerjain makalah, beresin tugas, atau apa pun yang memberikan keuntungan pada cowok itu. Jangan berburuk sangka? Apa hasil keuntungannya untuk Naresh?

"Nggak, maksudnya berhenti berburuk sangka sama gue," larat Naresh. "Bisa?"

"Gue, berburuk sangka?" Mata Nara berkedip-kedip, dia masih terlihat tidak mengerti.

"Kalo misal muncul opsi penilaian lo terhadap gue, bisa ditahan dulu? Lo coba pikir dulu kalo gue nggak bermaksud hal negatif."
Nara dengan prasangkanya juga hanya akan semakin merendahkan anggapan dirinya terhadap diri sendiri.

"Lo bisa anggap aja gue orang yang nggak pandai komunikasi hinggak orang nggak nagkap maksud gue sebenarnya. Karena lo pinter, bisa rinciin dulu maksud gue sebelum lo tanggapi?"

"Positive thinking?"

Naresh mengangguk. "Nggak perlu lakuin ke orang lain, cukup coba ke gue aja, bisa?"

Nara menunduk, terlihat berpikir cukup dalam. Dahinya berkerut-kerut sementara telunjuk mengetuk dagu.

"Oke." Nara mengangguk penuh semangat. "Gue bakal berusaha penuhi. Janji! Sumpah! Jadi mulai sekarang kita sel--"

"Makan dulu," potong Naresh karena tahu apa yang selanjutnya akan Nara katakan.

Nara membuka mulut hendak melanjutkan ucapannya.

Selingkuh, Yuk? [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang