Tangan Nara bergerak-gerak menuliskan rumus yang kemudian dilanjutkan dengan mensubsitusikan soal ke dalamnya. Bibirnya berkomat-kamit menghitung, dengan pandangan yang terfokus. Rambutnya sudah ia cepol asal setidaknya ketika mulai panas saat mengerjakan lembar soal kedua. Suasananya tenang, hanya pergulatan mekanik otak saja yang kian bergaduh.
"Eh kok kayaknya nggak gini deh," Nara menghentikan gerak pensilnya. Ia pun mengambil penghapus dan menghapus pengerjaan yang sudah dia buat.
"Fokus Nara, fokus," gumamnya lalu dia meningkatkan konsentrasinya. Pensilnya kembali berjalan. Menuliskan angka dan simbol memusingkan. Ia menguraikannya hingga beberapa baris lalu melingkari angka terakhir yang dia tulis.
"Bu!" Nara mengangkat tangannya. Bu Aini yang berada di meja depan itu pun menoleh.
"Sudah Nara?"
"Sudah."
Bu Aini menghampiri, menengok lembar jawaban Nara kemudian mengangguk-angguk. "Oke, bagus. Hasilnya kita bahas di pertemuan selanjutnya."
Nara pun menghembuskan napas lega. Melemaskan tubuhnya pada sandaran kursi. Siapa bilang duduk saja tidak menguras tenaga. Justru ketika pikiran yang dipakai energi malah tersedot dua kali lipatnya.
Sesuai dengan yang sudah Pak Abdi bilang, hari ini mulai masa latihan para peserta olimpiade. Mereka dikumpulkan di lab. Untuk mengukur jangkauan materi yang dipahami, pertemuan pertama ini mereka diberikan beberapa lembar soal.
Setiap meja diisi oleh dua orang dengan posisi saling berhadapan. Dari 9 peserta yang ada, Nara berpasangan dengan Naresh karena dirinya paling terakhir datang. Setidaknya Nara mengenal cowok itu daripada harus duduk dengan Jonathan yang notabenenya belum pernah bertegur sapa.
Karena berada tepat di hadapannya, secara otomatis pandangan Nara kini mengarah pada cowok itu. Andai tadi Nara lebih konsentrasi, dirinya pasti lebih cepat menyelesaikan daripada dia.
Merasa diperhatikan, Naresh yang semula menatap pulpen yang jarinya putar itu pun mendongak. Pandangan mereka bertemu. Menumpu satu sama lain tanpa suara yang terucap.
Tidak ada yang memalingkan wajah karena alasan sungkan. Mereka malah semakin fokus seolah ingin membuktikan siapa yang paling kuat bertahan."Hayoh!"
Nara terlonjak kaget begitu Pak Abdi tiba-tiba bersuara dari arah belakang tubuhnya.
"Kalian masih marahan soal Kimia itu ya?"
Nara mengusap-usap dadanya yang berdebar lumayan kencang. Sementara Guru itu berjalan ke sisi kiri hingga posisinya kini berada di antara Nara dan Naresh.
"Udah lah, damai aja. Nara juga oke di fisika kok, wajah Bu Aini keliatan seneng tuh," ucap guru itu seraya meletakan botol minuman di depan Nara dan Naresh.
"Kita nggak marahan, Pak," ucap Nara Jujur.
Soal Kimia itu Nara sudah tidak mempermasalahkan lagi. Dia bukan orang awam yang akan terus merengek sementara tanggung jawab di depan mata. Menjadi perwakilan sekolah artinya dirinya dipercaya. Semaksimal mungkin Nara akan berusaha agar tidak mengecewakan."Lah barusan tatap-tatapan udah kayak yang mau saling terkam satu sama lain."
Nara berjengit. "Kita cuma pengen tau siapa yang paling kuat tatap-tatapan kok," belanya dengan nada sedikit tidak terima. Terkam? Memangnya Nara hewan buas?
"Beneran?"
Naresh mengangguk tanpa beban.
"Kirain," Pak Abdi menghela lega. "Syukur deh kalau kalian sudah akur. Nggak peduli apa pun bidangnya, ingat kita ini satu. Kita sama-sama bawa nama sekolah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Selingkuh, Yuk? [TAMAT]
Teen FictionNara memergoki pacarnya berciuman dengan sahabat terdekatnya. Sakit hati, rasa dikhinati, semua berkumpul memenuhi rongga dadanya. Belum lagi orang-orang yang akan menatapnya iba. Berkata seberapa menyedihkan dia, ditikung sahabat sendiri. Tidak, it...