23. Dia

99.6K 11.2K 730
                                        

Semuanya sudah berkumpul di meja makan. Pram yang menjadi patokan utama memulai sudah selesai mengerjakan pekerjaan mendesaknya.

"Biasanya cuma berempat sekarang bisa rame gini," ucap Pram dia mulai mengambil nasi.

"Bukan itu sih poin pentingnya. Sekarang Naresh nggak keliatan sendiri," ucap Julia. "Tapi tadi kamu nggak ngapa-ngapain Nara 'kan?" Matanya menatap tajam pada si putra bungsu.

"Nggak percaya banget."

Julia berdecak kemudian beralih menatap Nara. "Naresh beneran nggak apa-apain kamu 'kan?"

Nara tersenyum dan menggeleng-geleng karena mulutnya kini sudah terisi makanan.

"Apa ini?!" pekik Rafly dengan mata melotot kaget setelah memasukan makanan ke mulutnya. Semua langsung menatap ke arahnya.

"Kirain selama ini masakan Bunda yang paling enak di Dunia," ucap cowok itu.

"Makanya kamu sering makan di sini 'kan," timpal Julia.

Rafly menggeleng-geleng terlihat tak percaya. "Ternyata di atas langit masih ada langit. Sumpah Na, ini enak banget." Rafly bertepuk tangan kemudian mengacungkan jempol pada Nara.

Nara terlihat kaget. Namun karena tidak bisa berbicara ia hanya menatap Naresh yang duduk di sampingnya.

"Iya, beneran enak."

Nara melebarkan mata untuk mewakili pertanyaan 'beneran?' dan Naresh balas melotot tajam mengomentari Nara yang memulai kebiasaannya lagi.

Nara menyunggingkan senyum setelah memahaminya. Selama ini Nara hanya pernah memasak untuk Mama dan Papanya. Mereka memang selalu bilang enak, tapi Nara pikir itu hanya agar Nara tidak berkecil hati. Namun sekarang Nara senang masakannya bisa diterima orang lain.

"Iya, besok-besok jangan makan di sini ya Rafly ya."

"Bunda jangan baperan. Aku cuma exited, masakan  Bunda tetap di hati kok."

Julia berpura-pura menggerutu yang membuat semua tertawa.

"Beneran enak 'kan? Aku sama Bunda tadi sampe bengong, terus pasrah aja biar Nara yang bumbuin. Bumbunya sama, cuma Nara punya takaran tersendiri yang jadi bikin khasnya dia," papar Cheryl sekaligus menjelaskan bahwa dia hanya sekedar membantu-bantu saja.

"Ini beneran enak loh, Nesh." Jeya mengacungkan garpunya dengan mata berbinar.

"Iya, tapi pelan-pelan." Ganesh mengambil tisu lalu mengusap lelehan kuah di dagu Jeya. Jeya tersenyum kemudian menoleh pada Nara.

"Dia nggak mau buka restoran aja, pasti sukses. Aku ada temen jadi bisa kerjasama dijamin nggak bakal ada kendala soal modal," papar Jeya dengan semangat.

"Nara pengen jadi Dokter," ucap Naresh.

Jeya terlihat berpikir sejenak. "Pengusaha uangnya lebih gede loh Dia, kuliahnya nggak terlalu mahal juga," provokasi Jeya dengan jiwa pengusahannya yang kini semakin melekat.

"Udah dulu, jangan ajak Nara ngobrol," ucap Naresh lagi.

"Oh Dia, tipe yang table manner-nya bagus ya," ucap Jeya sedikit merasa bersalah, karena setelah diingat-ingat daritadi Nara memang makan tanpa mengeluarkan suara.

"Bukan, dia kayak bayi gampang keselek."

"Uhuk!"

Nara terbatuk, Naresh sudah siap bertindak namun melihat Nara yang mengambil minum, artinya dia hanya tersedak biasa saja. Naresh merasa lega.

Setelah menyimpan gelasnya, Nara menatap tajam Naresh, yang jika disuarakan 'Jangan bilang-bilang orang lain juga!'

"Fakta 'kan?"

Selingkuh, Yuk? [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang