7. Kelas

59 16 4
                                    

Halooo. ^^

Ketemu lagi di ceritanya Alina dan Cakra.

Semoga sukaaa...

Kalau ada kritik dan saran, sampaikan aja yaa. 🤗

Selamat membaca!!!

***

Kedua sahabat itu berjalan melewati lorong yang belum terlalu ramai. Bukan hal yang aneh lagi, kalau ada yang mengira mereka itu sepasang kekasih. Namun, apa yang terjadi di natara keduanya menyangkal hal itu. Masing-masing punya cerita romansa dengan pemeran utama yang berbeda, mungkin ada juga yang sama. Banyak yang mengatakan kalau mereka itu cocok, tapi Alina menyangkal dan Cakra tak mau mengakui.

Setelah melewati kelas demi kelas, tangga demi tangga, dan cerita demi cerita yang hanya sampai pada lamunan, mereka pun sampai di depan kelas dengan plat bertuliskan XI IPA 1 di atas pintunya.

"Alina udah di kelas. Ya udah, ya, sekarang Cakra ke kelas juga sana gih!"

"Gue pantau dulu sampe lo bener-bener masuk kelas, same bel bunyi."

"Lah? Ntar Cakra telat, dong, masuk kelasnya?"

"Gapapa. Kan dah biasa ini."

"Idih. Kebiasaan buruk kok dibiasain sih?"

"Udah udah. Cakra ke kelas sana! Nih, Alina udah masuk kelas. Gak bakal keluar-keluar lagi sampai bel masuk nanti. Nih, Alina udah masuk," ujar Alina sembari memasuki kelas.

"Sana cepet masuk kelas, Cakra! Dahh! Salam buat Niko, yeah!"

Cakra memutar bola matanya malas. Niko lagi, Niko lagi. Lama-lama, Cakra alergi dengan nama itu di tengah Alina yang justru semakin candu.

***


Jarak dari lorong IPA ke lorong IPS sebenarnya hanya dipisahkan oleh kantin. Namun, karena Cakra berada di kelas XI IPS 4 yang berada di paling pojok lorong IPS, tentunya cukup jauh dari kelasnya Alina.

Napas cowok itu tersenggal-senggal usai berlari dari kelas Alina hingga disini, di kelasnya. Pintu kelas sudah tertutup. Ia melihat jam di ponselnya. Bel masuk berbunyi saat ia masih di lorong IPA, tapi sepertinya guru matematika adalah guru terambis di sekolah manapun. Setiap rabu pagi adalah salah satu waktu yang tidak disukai Cakra. Mata pelajaran Matematika Wajib yang dipersembahkan oleh guru killer, sungguh benar-benar dibenci oleh Cakra, siswa IPS biasa yang tidak berminat pada apapun.

Cowok itu hanya bisa pasrah. Lebih baik dihukum oleh guru killer, dibandingkan harus diomeli Alina karena harus membolos lagi. Ketika hendak membuka pintu, seseorang membuka pintu dari dalam kelas yang sampai membuat Cakra hampir jatuh dan kaget tentunya.

"Cakra?" guru itu tersenyum miring. "Siswa yang paling langganan remedial."

"Eh, Bu," sapa Cakra tanpa rasa bersalah. "M-maaf, Bu. Saya telat."

"Seisi kelas ini juga tahu kamu telat."
Bu Dara adalah guru yang terkenal akan kedisiplinan dan perfeksionisnya. Tak ada kata ampun untuk sswa yang tidak mematuhi peraturan sekolah ataupun peraturan tak tertulis yang ia terapkan di kelas.

Bu Dara menuju mejanya dan mengambil setumpuk kertas dan menyerahkannya kepada Cakra.

"I-ini apa, Bu?" tanya Cakra.

"Itu soal matematika."

"Iya, maksud saya, soal ini diapain, Bu?"

"Pelototin! Biar kamu jatuh cinta sama matematika."

Bu Dara mendekat ke arah Cakra. "Ada 100 soal materi logaritma dan eksponensial disitu. Kamu kerjakan, dan kumpulka setelah jam istirahat pertama. Mengerti?"

Cakra kaget bukan main. Mimpi apa ia semalam. Bisa-bisanya disuguhi makanan lezat ini.

"Duduk!" titah Bu Dara kepada Cakra.
"Baik, anak-anak. Kembali fokus! Okey. Sekarang kita akan bahas-"

Tok tok tok.

Suara ketukan pintu yang tak lama kemudian seseorang membuka pintu.
"Maaf, Bu. Saya terlambat. Tadi ada sedikit kendala."

Niko. Seseorang yang selalu membuat Cakra darah tinggi setiap Alina berurusan dengan orang itu.

Bu Dara hanya mengangguk. "Silakan duduk!"

Niko pun menuju tempat duduknya.

"BU! KOK CURANG SIH, BU. DIA BAHKAN LEBIH TELAT DARI SAYA. KOK, GAK ADA SANKSI APAPUN?" teriak Cakra dari bangku paling belakang.

"JANGAN TERIAK-TERIAK DI KELAS SAYA, CAKRA!" tegur Bu Dara.

Cakra merasa tidak adil. Niko yang lebih telat darinya tidak mendapatkan sanksi atau hukuman seperti dirinya, melainkan langsung dipersilakan untuk duduk. Masak iya, Bu Dara juga naksir Niko? Cakra membatin.

"Setidaknya, kalau tidak punya prestasi akademik atau non akademik, cukup jadi anak yang baik-baik." Ucapan Bu Dara memang tidak salah, tapi kenapa seolah mendiskriminasi?

***

Terimakasih bagi yang sudah membaca.

Sampai ketemu di part selanjutnya :)

(Bukan) Dari CakraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang