9. Pusat Perhatian

27 12 2
                                    

Halooo. ^^

Ketemu lagi di ceritanya Alina dan Cakra.

Semoga sukaaa...

Kalau ada kritik dan saran, sampaikan aja yaa. 🤗

Selamat membaca!!!

***

Alina membereskan alat tulisnya dan memasukannya ke dalam tas. Meliat ke sekelilingya, satu per satu teman-teman di kelasnya berhamburan keluar kelas. Kebanyakan dari mereka memiliki apa yang disebut dnegan teman.

Terkadang, mungkin hampir selalu, Alina merasa sedih, kesepian. Mungkin memiliki seorang seperti Cakra sudah cukup baginya. Tapi, memannya Cakra sanggup mendengar celotehannya tentang cowok yang Alina sukai? Sering sih, tapi dari responnya, Alina tahu Cakra tetaplah cowok, tidak sepeka itu untuk antusias mendengar cerita-cerita yang dilontarkan Alina. Alina ingin sekali punya teman perempuan supaya bisa gibahin Cakra sih, katanya.

“Belum keluar, nih, little princess? Ohiya lupa. Kan gak punya temen ya? Kacian. Duluan yaa,” ujar Irene sembari sedikit merangkul palsu Alina. Alina hanya bisa diam. Kata Cakra, jangan terlalu mendengarkan hal yang tidak penting dari orang yang tidak penting.

Irene kemudian melengos pergi dibuntuti kedua temannya. Alina mencoba utuk menetralkan persaaannya saat ini.

Alina berjalan pelan ke arah pintu. Ia terkejut begitu melihat seorang sudah sangat ia kenal.

“Cakra?”

“Lo kok lama banget sih keluarnya?” tanya Cakra.

“Sorry, Cak. Lama ya nunggunya? Hehe,” tanya balik Alina sembari cengengesan.

“Lama banget. Dari orok gue disini.”

Alina tertawa kecil sembari menepuk Pundak Cakra. 

Menggemaskan, batin Cakra.

Mereka pun berjalan menyusuri lorong IPA menuju kantin.

“Cakra.” Panggil Alina.

“Hmm.”

“Cakra pasti tadi dimarahin lagi ya, sama Bu Dara.” Tebak Alina.

“Sok tau, Lu,” sangkal Cakra.

“Idih. Apanya yang sok tau. Bener kan?”

“Mmm. Iya sih.” Jawab Cakra sambil tetap menjaga image di depan Alina yang kini malah menertawainya. “Gak usah ketawa, lu!’

“Cakra tuh, ya. Udah tau Bu Dara itu super-super disiplin. Ngapain juga pake ditelat-telatin segala masuk kelasnya. Aturan tuh ya, 15 menit sbelum kelas, udah duduk di bangku.”

“Ya udah, besok-besok gue, 15 menit sebelum bel masuk udah di d=kelas, duduk di bangku, terus tidur.”

“Loh kok tidur sih? Belajar dulu bisa kaliii. Biar pinter,” ujar Alina sambil mengusap ramut Cakra. Alina paling bisa membuatnya salting.

Beralih dari sikap Alina yang selalu membuat Cakra salting, gadis itu kini tertuju pada orang-orang di sekelilingnya yang mentatapnya dengan tatapan anaeh sambal ketawa-ketiwi dikit. Cakra? Cowok itu seperti biasa, cek dan tak terlalu memperhatikan sekitar, kecuali batu yang bisa mmebuatnya tersandung.

“Cak?”

“Hm.”

“Orang-orang pada kenapaa ya? Kok ngeliatin Alina sampe segitunya?” tanya Alina heran.

“Kayak gitunya gimana?”

“Ya kayak gitu. Natap aneh. Alina tau Alina itu cantik.” Cakra memutar bola matanya malas. “Tapi kan, gak usah sampe segitunya juga kali. Tapi, masa ada sih, orang yang kagum sama orang cantik tapi natapnya sambal ketawa ketiwi gitu? Emang ada yang lucu ya? Alina tau alina itu lucu tap-” ucap Alina panjnag kali lebar dengan sedikit berbisik.

“Lin. Lo tuh ya, udah kepedean, overthinking lagi. Gak usah peduliin reaksi orang bisa gak sih? Udah yuk. Gue lapar.” 

Sebenarnya Cakra juga merasakan hal yang serupa, tapi ia memiih untuk mengalihkan perhatian Alina. Bukan sekali dua kali Alina menjadi pusat perhatian di sekolah ini. Prestasinya banyak, tapi di kalangan para murid, sepertinya pengaruh Irene and the genk cukup membuat Alina lebih popular karena kekurangan yang ada pada dirinya. Untuk saat ini, Cakra sedang tidak memikirkan itu. Apappun yang gadis itu lakukan pada Alina, Cakra pastikan ia akan kalah.

(Bukan) Dari CakraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang