23. Menang

6 4 0
                                    

Niko dan Cakra pun mulai bertanding. Kedua cowok itu saling berebut bola, mendribble, melempar, hingga mencetak poin secara bergantian. Setelah beberapa menit permainan berlangsung, kini skor mereka berdua seri. Denga nisi pikirannya masing-asing, sembari meikirkan strategi agar poin yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan pihak lawan. Cakra tak mau membuat Alina kecewa, semnatar Niko tak mau jika harus meladeni gadis yang selalu mengganggunya.

Setelah jeda sejenak, bola basket itu kembali diperebutkan oleh dua cowok yang sedang berada di tengah lapangan. Setelah usaha yang sepertinya tidak sia-sia …

Cakra pun akhirnya bisa memenangkan pertandingan bersama Niko itu. Berusaha untuk melawan traumanya dengan basket, kali ini, untuk pertama kalinya Cakra kembali menunjukkan kebolehannya dalam permainan ini.

Di sisi lain, Niko terlihat sangat kecewa. Ini kali petama dia kalah dari seseorang yang bahkan kelihatannya tak pernah tersentuh oleh latihan-latihan basket yang melelahkan itu. Tidak hanya itu, dipastikan juga kalau cowok itu tidak terima dengan kekalahannya dalam taruhan yang ia ajukan sendiri.

“Lo masih inget kan permintaan gue tadi kalau sekiranya gue menang. Dan sekarang gue menang, menang dari seorang Niko, atlit basket kebanggaan sekolah. Selamat menjalankan konsekuensinya ya, ah bukan, hadiahnya maksud gue,” ujar Cakra seraya tersenyum menang.

“Lo piker segampang itu turutin apa mau lo? Lo bukan siapa-siapa kali. Meskipun lo menang, gak ada kewajiban buat gue turutin apa mau lo?”

“Oh, adi cowok gak ada gentle-gentle-nya ya, Lo. Orang-orang disini pada denger. Tapi kayanya, sebagian besar, terutama cewek-ceweik, memaklumi ketidakgentle-an lo ini. Tap—”

“Cakra! Niko!” seru seorang pria berusia 40 tahunan yang sepertinya guru olahraga mereka. Entah sejak kapan sudah kembali ke lapangan, Pak Guru tersebut menghampiri mereka berdua yang masih berada di tenagh lapangan.

“Bapak dari tadi lihat permainan kalian berdua. Tadinya bapak minta kalian ntuk bermain dalam tim. Tapi, gapap, bapak kagum dengan permainan barusan yang seperti pertandingan bola basket professional.”

“Sudah tentu kalau itu, Pak. Bapak lupa, kalau saya—” 

“Bukan hanya kamu Niko, maksud saya,” potong Pak Guru itu, kemudian mengarahkan pandangannya kea rah Cakra.

“Kamu, Cakra. Permainan kamu barusan sangat bagus. Tapi, kenapa bapak baru lihat kamu bermain sebgaus tadi? Kemarin-kemarin kemana aja,” ujar Pak Guru.

“Itu Cuma kebetuan kok, Pak. Atlit basket kebanggaan sekolah kita lebih hebat, Pak. Yaa mungkin kali ini lagi apes aja meskipun lawan mainnya ga sehebat dia.”

Niko rasanya ingin sekali menyumpal mulut Cakra dengan bola basket di tangannya. Sembarangan sekali kalau ngomong, batin Niko.

“Permainan kamu bagus kok. Kalau dilatih, bisa aja kamu bergabung dengan tim basket sekolah. Bagaimana, kamu tertarik?”

“Apa pa?! gabung? Maaf pak, tapi orang yang baru menunjukkan skill main basketnya sekali, menan juga karena Cuma beruntung, gak bisa semudah itu buat gabung sama tim basket kita,” protes Niko.

“Memang. Makanya bapak bilang kalau sering dilatih. Buat kamu Cakra, latih skill kamu. Tawaran saya untuk kamu bergabung dengan tim basket masih terbuka lebar. Nanti kamu kabari saya lagi, ya,” ujar Pak Guru.

“Ya sudah, anak-anak. Karena jam olahraganya sebentar lagi sudah selesai, silakan boleh ke kelas.”

“Yeayy!!! Terimakasih, Pak!” sorak gembira anak-anak IPS 4.

Niko masih mematung di tempatnya. Sudah kalah, harus memenuhi permintaan Cakra, ditambah Pk Guru olahraga yang tiba-tiba terkesan dengan permainan basket Cakra hingga menawari cowok itu untuk bergabung dengan tim basket sekolah.

Lamunannya terpecah begitu Cakra mengagetkan dengan menepuk bahunya tiba-tiba, sok akrab. Niko hampir saja melaangkan kembali bola basket d tanganya ke kepala cowok itu. Cakra langsung otomatis menghindar.

“Tolong ditepati janjinya ya, Tuan Niko yang terormat,” ujar Cakra mengingatkan.

Melihat wajah kesal Niko, Cakra tertawa kecil. “Tenang aja. Gue gak bakal terima tawaran Pak Guru. Asalkan … lo penuhi konsekuensi taruhan tadi. Cuma seminggu doang kok, lo baik sama Alina. Gimana?” tanya Cakra sembari mengangkat sebelah alisnya.

“Bukan masalah. Deal. Tapi lo bener harus tolak tawaran itu.”

“Okey. Deal.”

***

(Bukan) Dari CakraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang