28. Mimpi yang Tak Jadi Hilang

9 7 1
                                    

Seminggu bahagianya Alina yang dirancang oleh Cakra, sudah usai. Kemarin adalah hari terakhir. Niko sudah terlepas dan bebas dari terror Cakra dan sikap palsu yang harus ditampilkan di depan gadis yang menurutnya sok imut dan caper itu. Cowok itu bahkan sampai merayakan kebebasannya itu dengan mentraktir teman-temannya sepuasnya.

Hari ini adalah suatu kebebasan bagi Niko. Tapi, hari ini adalah suatu kesedihan bagi Alina yang mungkin akan segera sadar kalau kebahagiaannya di seminggu terakhir adalah palsu. 

“Bagi yang tidak remedial silakan bboleh keluar,” ujar seorang guru yang sedang mengajar di kelas XI IPA 1.”

Siswa yang terkumpul di XI IPA 1 memang sebgaian besar merupakan siswa unggul. Namun, soal-soal matematika peminatan yang dibuat oleh guru tersebut kemarin di kuis memang sangatlah tidak ramah, bahkan untuk selevel anak-anak di kelas ini.

Terkecuali, dua siswi terunggul di kelas ini.

Ya, Alina dan Ara. Dua jagoan olimpiade milik XI IPA 1.

Keduanya lalu keluar kelas karena hanya mereka berdua saja yang tidak perlu ikut reedial.

“Lin, lo mau nunggu dimana? Mau ke perpus gak? Atau ruang olimpiade?”

“Lin?” panggil Ara sekali lagi. Gadis itu masih memandang lurus sambil senyum-senyum sendiri.

“Oalah pantes.”

“Eh, Ara. Sorry. Alina mau ke lapangan aja, dukung Niko,” ujar Alina.

“Oh, gue mau kayaknya ikut nonton juga. Tapi, mau toilet dulu ya.”

“Oh okey, Ra.”

Alina masih dengan antusiasnya, berlari terburu-buru keluar kelas begitu melihat Niko dan timnya masuk ke lapangan dengan membawa sebuah bola basket. Alina tak bleh ketinggalan. Ia harus selalu menjadi garda terdepan dalam mendukung Niko.

“NIKO! NIKO SEMANGAT!”

Sedari tadi, Alina memang yang paling kencang suaranya memberi semnagat pada Niko.

Okey, sepertinya gadis yang satu ini tidak diberitahu oleh sahabatnya sendiri soal perjanjian seminggu itu. Niko tersenyum miring. Sebuah ide terlintas di kepalanya.

“Lin!”

“Iya, Niko?”

“Lo bisa nangkep bola gak?”

“Bi-bisa.”

Niko pun mengambil ancang-ancang, mndribble bola basketnya, lalu …

Melemparkan bola itu, diarahkan tepat ke kepala Alina. Ia sudah sangat kesal dengan gadis rusuh itu.

Namun …

PRANKK

Cakra yang tiba-tiba dtaang langsung melindungi kepala Alina dan medorongnya untuk jogkok. Bola itu jadi mengenai kaca salah satu kelas.

“Nik, gawat! Kita bisa dimarahin bahkan dihukum.”

“Lo tennag aja, guru mana yang berani hokum gue?”

“Ada. Guru BK,” ujar seseorang yang tiba-tiba berada di belakang Niko.

Niko melotot kaget. Okey, kalau yang satu ini, dia tidak bisa memanfaatkan jejak prestasinya untuk menyelamatkannya dari hukuman.

Di ruangan BK, Niko ditegur dan cowok itu hanya bisa menunduk tanpa pembelaan apapun. Dia paling keok di hadpan guru BK yang selalu netral dalm memberikan hkuman. Bahkan papanya sampai dipanggil saat itu juga. Kali ini, Niko dapat dobel hukuman.

“Mulai saat ini, kamu jangan pernah bersentuhan lagi dengan dunia basket.” Ucapan papanya itu membuat Niko kesal tapi tak bisa berbuat apa-apa.

Niko yang kepikiran dengan ucapan papanya tadi di sekolah, akhirnya tdak berani untum puang, sampai mendapat panggilan telepon dari sang papa.

“Kamu dimana?”

“Bukan urusan papa.”

“Oh gitu ya? Oeky kalau gitu. Tadinya papa mau kasih kabar baik. Papa tadinya mau Tarik kata-kata papa tadi siang. Papa mau izinin kamu main basket lagi, tapi ya—”

“Iya pa, Niko pulang sekarang”

Niko pikir ini jebakan. Dia sudah siap sedia dengan menelepon teman-temannya satu persatu untuk menampung dirinya. Tapi ternyaa dugaan dia salah. Papa dan ammaya justru menyambut baik dirinya dan bahkan, emndukung mimpinya untuk bermain

***

(Bukan) Dari CakraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang