16. Nilai Turun

14 7 1
                                    

“Ibu harap, kamu tingkatkan semangat belajar kamu, ya, Cak. Nilai kamu semakin hari semakin turun di hamper sssemua mata pelajaran. Meskipun beasiswa yang kamu dapatkan itu hanya beasiswa kurang mampu yang tidak menuntut prestasi akademik tertentu, diharapkan kamu bisa menggunakannya dengan sebaik mungkin,” ujar seorang wanita paruh baya yang merupakan guru bk di sekolah ini. Dengan raut wajah sedikit kecewa, menatap Cakra yag sepertinya masih santai-santai saja tanpa ada kekhawatiran beasiswanya berpotensi untuk dihentikan.

“Iya. Baik, Bu. Akan saya usahakan,” ujar Cakra.

“Kalau Ibu tidak salah dengar, sepertinya kamu berteman dekat dengan Alina Putri Maheswari dari kelas XI IPA 1. Betul begitu?”

Cakra mengangguk. Memang benar, bukan hanya dekat, tapi dekat sekali.

“Dari track record nya, Alina ini multitalenta. Dia unggul di hamper semua mata pelajaran, bahkan pelaaran di jurusan IPS,” ujar guru BK itu, kemudian sedikit mencodongkan badannya. “Kamu tentunya bisa eminta antuan Alina untuk mengajari kamu. Atau memang selama ini sudah terbiasa belajar Bersama?”

“Saya tidak suka belajar, Bu.” Ucapan Cakra barusan sontak membuat guru BK itu mengerutkan keningnya.

“Eh, maksudnya, saya tidak suka belajar bareng, Bu. Saya lebih suka belajar sendirian.”

“Tidak masalah. Setiap orang punya gayanya masing-masing dalam belajar. Tapi, sebentar lagi ujian akhir semester ganjil tiba, Cakra. Kamu usahakan untuk belajar semaksimal mungkin agar nilai kamu tidak lagi di bawah rata-rata, salah satunya ya dnean belajar Bersama Alina. Dicoba, ya.”

“Baik, Bu.”

“Ya sudah, kamu boleh pulang. Nanti konsultasikan lagi ke Ibu atau wali kelas kamu kalau ada kesulitan dalam nilai kamu,” ujar guru BK itu mempersilakan Cakra keluar dari ruangannya.

“Baik, Bu. Terimakasih. Saya permisi,” pamit Cakra yang kemudian menuju pint keluar.

Bukan sekali dua kali Cakra dipanggil oleh guru BK. Bukan karena berbuat onar, melainkan nilai akademisnya yang sulit sekali berada di atas KKM. Cakra memang bukan tipe siswa yang rajin dan aktif belajar. Saat pulang sekolah pun, ia harus bekerja di Angringan Bang Iben untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Beasiswa yang didapatkannya hanya menutupi 70 persen dari keseluruhan biaya SPP-nya.

“Cakra!”

“Lin! Lo ngagetin aja, sih!” kesal Cakra, kaget dengan kehadiran Alina yang tiba-tiba ada di depan ruang BK. Sambil melirik-lirik ke dalam ruangan, Cakra menggenggam tangan Alina dan membawanya agak jauh dari ruangan tersebut.

“Lo ngapain disini? Nguping ya lo dari tadi?”

“Lagian kenapa sih kalau nguping?”

“Ya gak kenapa-napa sih.”

“Ohiya, tadi Alina denger nama Alina disebut-sebut lho. Ayooo Cakra habis curhat apa ke guru BK soal Alina?”

“Kepo, Lu!”

Alina tertawa kecil. “Alina denger kok. Kata guru BK, Cakra harus belajar bareng sama Alina kan? Hmm Cakra sihh … Makanya, kalau Alina ajak be;ajar bareng tuh mau, bukannya kabur.”

“Aww,” ujar Cakra kesakitan karena Alina yang melayangkan cubitan ke sisi perut kirinya.

“Ya udah, yuk!” ajak Alina.

“Hayuk kemana?” tanya Cakra, tidak langsung menangkap maksud Alina.

“Ya elah, Cakra. Masih nanya aja. Hayuk kita beajar bareng. Nanti Alina ajarin. Udah ayooo, keburu Mama jemput nanti,” ujar Alina sebelum menggiring Cakra pergi dari sana.

Hari ini, mamanya akan terlambat menjemput. Gadis itu akan memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin untuk mengajari cowok itu.

***

(Bukan) Dari CakraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang