24. Surat yang Jatuh

8 5 0
                                    

Ekspresi marah dan kecewa mamanya masih terngiang-ngiang di pikiran Alina. Hari ini, gadis itu pun tak bisa serratus persen foks dengan belajarnya di kelas. Tentang kekecewaan sang mama karena ia melanggar janjinya, juga tentang hubungannya dengan Cakra yang tak bisa sedekat dulu lagi. Bukan bermaksud hendak menentang, tapi bukan hal yang mudah bagi Alina untuk melupakan dan menjaga jarak dengan Cakra.

BRUKK

“Eh sorry-sorry. Alina gak—” Ucapan Alina terhenti begitu melihat sosok yang baru saja ia tubruk.

“Ca-cakra?”

“Lo kenapa jalan sambil bengong, Lin?”

“Gak apa-apa,” ujar Alina mengelak yang kmeudian berusaha pergi dari hdapan cowok itu sembari menunduk.

“Lin, tunggu! Lo kenapa?” ucapan Cakra menghentikan langkah Alina. Cowok itu pun menghampirinya.

“Ada apa, Lin? Cerita sama gue! Nyokap lo ngomong apa? Dia marah besar sama lo?’

Alina hanya memejamkan matanya dengan kuat. Adalah suatu kesalahan unuk mengungkapkan yang satu ini.

“Cakra, tolong jauhi Alina mulai sekarang!”

Bagaikan petir di siang bolong. Cakra masih harus mencerna perkataan yang dilontarkan oleh  sahabatnya itu.

“Lo kenapa tiba-tiba ngomong kayak gini, Lin? Nyokap lo nyuruh lo buat jauhin gue.”

“Dari dulu, Cak. Tapi Alina selalu langgar. Kali ini, Alina gak mau langgar janji sama Mama lagi. Sorry, Cakra,” ucap Alina sebelum pergi menghilang dari hadapan Cakra.

Cakra memang tak bisa berbuat apa-apa saat ini. Ia juga tak mau kalau Alina sampai menentang sang mama hanya demi dirinya. Walau begitu, Cakra akan tetap memenuhi janjinya, menjaga gadis itu, dari jauh.

***

Ruang olimpiade.

Seorang gadis dengan menenteng tas di pundaknya berdiri di depan pintu ruangan yang dipenuhi oleh aroma-aroma kejeniusan. Para siswa yang memiliki keunggulan akademik di bidangnya masing-masing, biasa berkumpul di sini untuk latihan, diskusi, atau sekedar melepas penatnya belajar dengan belajar.

Gadis itu pun membuka pintu ruangan dan masuk ke dalamnya. Ruangan yang tidak begitu luas, mungkin hanya muat untuk 10-12 orang. Sepi, sedang tidak ada siapa-siapa selain dirinya disana. Lalu, perhatiannya lantas tertuju pada sebuah lemari kecil berwarna cokelat di ujung ruangan sana.

Perlahan, gadis itu membuka lemari dan hendak menaruh sesatu yang dibungkus keresek ke dalamnya.

“Alina?”

Gadis itu adalah Alina. Ia terkejut dengan gadis berambut kuncir kuda yang tiba-tiba sudqah berada di belakangnya.

“Lo lagi ngapain?”

“E-eh ini. Alina mau balikin seragamnya Ara. Nih, makasih ya, Ra, udah pinjemin Alina seragam,” ujar Alina sembari menyerahkan barang yang masih berada di tangannya. Gadis dihadapannya pun menerimanya.

“Oh iya-iya.”

“Ya udah Alina duluan ya,”

Pamit Alina.

“Iya. Hati-hati.”

Alina pun keluar dari ruangan itu.

Sementara itu, tanpa pengetahuan Alina, Cakra mengikutinya sedari tadi dan bersembunyi di balik tembok dekat ruangan itu.

***

Alina merasa kesepian tanpa Cakra. Dia merindukan sahabatnya. Sejak kemarin dia mengatakan sesuatu yang sama sekali tak pernah terpikirkan sebelumnya, hari ini gadis itu sepertinya tidak akan lagi bersemangat menjalani hari-hari di sekolah. Bahkan, baru di sampai di gerbang sekolah saja, Alina rasanya sudah merasa harinya tak berwarna. Sampai parkiran, jalannya mulai melambat. Meirik ke arah tempar Cakra biasa memarkirkan motornya. Namun, tempat itu masih kosong melompong. Cowok itu belum datang.

Tak lama, orag yang sedari tadi ia pikirkan melewatinya bbegitu saja, memarkirkan mtornya di tempat yang Alina perhatikan barusan. Tanpa sapaan atau sepatah kata appaun, cowok itu hanya terdiam, cuek, seakan tidak ada sahabatnya disana. Alina piker, mungkin Cakra tak melihat dirinya karena terlalu fokus menyetir. Atau mungkin, karena hal lain.

Ah tidak. Alina lupa sesuatu. Kemarin, dia sendiri yang menyuruh cowok itu untuk menjauinya. Mungkin Cakra memang sepenurut itu. Di sisi lain, Alina benar-benar sedih. Namun, ia tetap berharap.

Setelah memarkirkan motornya dengan benar dan menaruh helm, Cakra langsung berjalan ke arah Alina. Alina pikir begitu, tapi nyatanya tidak. Bahkan, menatap pun tidak. Cakra hanya lewat begitu saja. Kembali menatap ke arah motor Cakra, Alina kepikiran soal sikap Cakra ini. Namun, tiba-tiba ia mengerutkan keningnya begitu baru sadar barusan Cakra enjatuhkan sesuatu. Alina menghampiri motor Cakra. Disana, terdapat gulungan kertas yang menggeletak. Alina pun mengambil kertas itu dan membaca isi tulisan di dalamnya.

Kita sama-sama orang berusaha buat memenuhi janji, Lin.

Kalau lo berkomitmen buat penuhin janji ke nyokap lo,

Tolong jangan larang gue buat penuhin janji gue juga ke lo, lin.

Izinin gue buat terus jagain lo, apapun yang terjadi.

Plisss jangan larang gue.

Dan satu lagi, tanpa gue di samping lo kayak dulu,

Tolong tetep jadi Alina yang biasanya.

Jadi Alina yang ceria dan selalu semangat.

Alina menatap lekat-lekat isi tulian Cakra itu. Ia tahu, cowok itu sengaja menjatuhkan kertas ini.

Ohiya, satu lagi, Lin.

Gue punya hadiah buat lo.

Tapi, syaratnya lo harus enjalani keseharian lo di sekolah 

kayak dulu. Bedanya, sekarang gak ad ague secara langsung

di samping lo.


Membaca kalimat terakhir dari surat itu, Alina cukup kebingungan akan maksudnya. Gadis itu pun menyimpan kertas itu di tasnya.

“Okey Cakra. Kalau itu maunya Cakra. Alina bakal tetep kayak dulu lagi,” ujar Alina seraya tersenyum kecil. “Misi keseharian Alina di pagi hari: Niko,” ujar Alina kembali.

***

(Bukan) Dari CakraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang