Epilog

24 8 4
                                    

Berbagai pujian yang dilontarkan orang-orang kepada Niko atas pencapaiannya dalam menyematkan perandingan kemarin—karena Cakra yang tiba-tiba menghilang—cukup menyadarkan Alina kalau selaa ini, yang dicintai oleh Niko hanyalah basket. Semua hal bahkan yang ekstrim sekalipun, ia lakukan demi basket. Keputusannya kearin-kemarin salah besar. Ia telah meggagalkan mimpi Cakra. Ia juga telah mempermalukan dirinya sendiri yang bucin akut sapai tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Alina benar-enar kecewa dengan dirinya sendiri. Ia sudah mneyia-nyiakan seorang Cakra. Sahabat semasa kecilnya. Ia ingin meminta maaf, tapi apakah cowok itu masih mau memaafkannya? Alina memnag tidak tahu dii. Tak pernh menemukan cowok sebaik Cakra. Tapi, dia lebih memilih Niko yang sejak awal tidak menyukai dirinya.

Mencoba menuju angkringan Bang Iben. Alina harap, Cakra ada disana. Pelukan penuh takut akan kehilangan yang kemarin, Alina yakin masih ada celah untuknya. Minal, Cakra mau mendengarkan kata maafnya, meskipun tidak harus memaafkan.

“Bang Iben!”

“Eh, Alina. Sini nanti kehujanan!”

Alina pun meneduh disana. Hujan yang lebat, mengingatkan Alina akan Cakra.

“Cari Cakra ya?”

“Iya, Bang, Cakranya ada?”

“Kok diem Bang?”

“Cakra udah gak kerja disini.”

“Hah? Kenaoa bisa?!” Alina terkejut denan pernyataan yang dilotarkan ang Iben.

“Cakra katanya mau pindah ke luar kota, mau tinggal sama saudaranya. Sekolah disini mahal-mmahal katanya. Dia mau cari sekolah yang lebih murah. Yaa sayang sih, gue kehilnagan karyawan loyal kayak dia. Padahal anaknya baek, udah gue anggep kayak adek gue sendiri.”

“Bang Iben tau rmah saudaranya Cakra dimana? Di kota apa?”

“Lah, yang shabatnya kan elu. Kenapa jadi nanya ke gue? Agak kecewa sih, dia gak mau kasih tau ke gue. Tapi, ya mungkin ada aasan tertentu.”

“Lin? Lo sedih ya?”

Alina menggeleng. “Ya udah makasih ya, Bang infonya. Maaf gang waktunya, Bang. Alina izin neduh di saung dulu, boleh? Siapa tau nanti Cakra tiba-tiba datang.”

“Oh i-iya gapapa. Silakan.”

Alina pun menuju ke saung favoritnya dengan Cakra. Disana Alina hanya menatap tmpat yang biasa Cakra duduki. Pikirannya melayang pada semua kennagannya bersama Cakra.

CLAK CLAK

Alina tersadar dari lamunannya begitu tetes demi tetes air jatuh mengenai roknya. Saung itu bocor ternyata. Gadis itu pun segera mengeluarkan payung dari tasnya. Namun, ia terheran dengan tetesan air yang tidak lagi jatuh. Alina pun mendongak melihat sebuah payung yang tiba-tiba menaungi kepalanya. Melindunginya dari atap saung yang bocor. Alina lebih terkejut lagi ketika mehat siap yang memegang payung itu.

“Cakra?”

Alina langsung berdiri.

“Cakra sejak kapa ada disini? Cakra ga jadi pindah kan?”

“Apa peduli lo.”

“Alina minta maaf Cakra. Alina emang gak pantes buat minta maaf bahkan seribu kali pun. Alina terlalu banyak salah sama Cakra. Alina gak dengerin apa kata Cakra soal Niko. Ali nyesel Cakra.”

“Sudah curhatnya, Mbak?” tanya Cakra sinis.

“Cakra. Alina tu Cakra gak mudah maafin Alina. Tapi Alina bener-bener nyesel dan minta maaf banget sama Cakra.”

“Minta maaf gampang, Mbak. Memaafkan juga sebenernya gampang aja. Tapi, sesuatu yang udah asing, tinggal menunggu waktu untuk menjadi usang. Ohiya, mbaknya punya payug sendiri kan? Dipake, ya. Saya mau duluan soalnya.”

“Cakra!”

Alina memnag tak akan pernah lagi bertemu Cakra. Lebih tepatnya Cakra yang dulu. Semua telah asing dimakan ego. Benar kata Cakra, tinggal menunggu waktu untuk menjadikannya usang yang hanya tinggal

***

Halooo...

Terimakasih untuk yang sudah membaca cerita "(Bukan) dari Cakra".

Sampai ketemu di cerita lain.
Tengkyu. ^^

(Bukan) Dari CakraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang