Mereka berdua duduk di saung yang hanya beralaskan tikar sederhana dan sebuah meja. Agak jauh dari tempat duduk yang ramai oran, tempat ini cukup untuk Alina dan Cakra focus belajar. Begitu katanya.
“Cak, sambal nungguin makanan dating, kita mulai dulu aja gimana?”
“Nanti dulu lah, Lin. Gabisa belajar kalau lagi laper,”
Alina sedikit mencondongkan telinganya kea rah Cakra. “Mana? Alina gak dnger suara perutnya Cakra. Berarti beu laper. Ayok belajar dulu! Keluarin bukunya Cakra cepetannn … kita belajar Geografi.”
“Yaelah,” keluh Cakra.
“Gak boleh ngedumel Cakraaa.”
Setelah kurang lebih satu jam mereka belajar, makanan pun sudah disantap sesekali sembari belajar tadi, kini Alina dan Cakra pun menyenderkan tubuh masing-masing. Cukup lelah juga mengajarkan Cakra, batin Alina. Cukup lelah juga mendengarkan Alina mengoceh menjelaskan materi-materi Geografi yang hanya bisa dipahami oleh cowok itu sekitar 20-30%.
“Cak,”
“Hm,” sahut Cakra dengan mata yang masih sedikit terpejam karena capek.
“Cakra lihat sini dong.”
“Iyaa,” ujar Cakra yang kemudian membetulkan posisi duduk dan membuka matanya.
Alina menghembuskan napas pelan. “Cakra lebih semnagat lagi ya belajarnya. Alina udah berusaha semaksimal mungkin buat ngajarin Cakra. Tapi, kayaknya metode belajar yang coba Alina terapkan ke Cakra kurang mempan. Mungkin Cakra punya cara belajar lain? Nanti dicoa, ya. Maaf, Alina gak bisa memaksakan Cakra terlalu keras. Tapi Cakra gak usah khawatir. Cakra itu gak bodoh. Cakra itu pinter, tapi mungkin perlu belajar lebih giat lagi,” ucap Alina Panjang lebar mencoba menasehati sekaligus mengibur sahabatnya itu.
Tidak langsung menjawab, Cakra justru kembali menyenderkan tubuhnya dan memejamkan matanya. Bukan hanya Alina atau guru-gurunya di sekolah, dirinya sendiri pun sudah menyerah dan pusing bagaimana bisa meningkatkan prestasi belajarnya yang tak pernah menyentuh nilai KKM itu.
“Lo gak perlu minta maaf, Lin. Lo dan guru-guru udah berusaha buat ngajarin gue. Ya tapi, mau gimana lagi, sama sekali kagak ada yang masuk di otak gue,” ujar Cakra diakhiri tawa kecil, menertawai ketidakmampuan dirinya.
“Cakra jangan nyerah gitu, dong. Alina gak suka. Cakra pasti bisa!” ujar Alina menyemangati sahabatnya itu.
Cakra tertawa kecil lagi. “Susah, Lin. Otak gue gak encer kayak lo. Gue udah capek juga. Gak gampang buat gue nangkep materi sekolah. Masa depan ge belum tau kayak gimana nantinya. Nggak kayak lo. Meskipun lo punya keterbat—”
“Iya itu, Cak. Keterbatasan. Alina memang punya keterbatasan. Sampai-sampai, banyak orang yang bilang kalau orang seperti Alina itu gak pantes buat sekolah di sekolah umum, gak pantes buat belajar kayak yang lain, gak pantes buat berprestasi seperti anak-anak normal lainnya, dan bahkan, gak pantes buat membangun masa depan yang lebih cerah.” Alina berhenti sejenak, lalu menundukkan kepalanya. “Jadi, Cak. Kalau orang yang punya keterbatasan kayak Alina aja bisa berusaha, kenapa Cakra yang normal nggak bisa?”
“E-eh, Lin. Sorry. Gue tadi gak ada maksud buat nyinggung soal keterbatasan Lo,” ujar Cakra memberikan klarifikasi atas ucapannya tadi. Cowok itu merasa bersalah dengan Alina.
“Gak apa-apa, kok, Cak. Kenapa jadi minta maaf, sih. Cakra semnagat ya, jangan nyerah lagi.”
“Siap,” ujar Cakra sembari menaruh tangannya di depan dahi seperti tanda hormat. Alina tersenyum melihat tingkah Cakra yang sekilas itu.
“Bentar ya, Lin. Gue ke toilet dulu,” ujar Cakra seraya beranjak dari tempat duduknya.
“Jangan lama, Cak. Nanti Alina-nya diculik kucing,” ucap Alina becanda.
“Bisa aja, Lu. Diem jangan kemana-mana!”
Alina tersenyum kecil. “Iya-iya.”
Selang beberapa menit, Cakra pun kembali ke saung tempat ia dan Alina tadi belajar bersama.
“Lin? Lo, nangis?!”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Dari Cakra
Teen Fiction"Silakan kalau mau jatuh cinta." Alina adalah segalanya bagi Cakra. Cakra adalah segalanya bagi Alina. Namun, semua berubah ketika Alina jatuh cinta. Bukan, bukan kepada Cakra. Sumber cover: pinterest.