27. Bukan Sumber Bahagianya

9 6 0
                                    

Alina baru saja keluar dari ruang guru. Adis itu masih kepikiran dengan surat dari Cakra tadi pagi. Hadiah? Hadiah apa maksuud Cakra.

BRUK

“Eh maaf maaf. Alina gak lihat,” ujar Alina begitu tidak sengaja bahunya bertubrukan dengan bahu seseorang. Agak de ja vu dengan kejadian kemarin, tubrukan dengan Cakra. Tapi, sudah pasti bukan sih. Sekilas dari penampialan dan wanginya tentu itu buk-

Tunggu dulu. Memang bukan Cakra, tapi Alina sangat kenal cowok tadi.

Akhirnya gadis itu pun bisa langsung mengingat suatu nama.

“NIKO!” teriak Alina lalu berbalik elihat Niko yang melihat juga ke arahnya. Tanpa waktu lama, Alina langsung berlari ke arahnya.

Sepertinya, ada sesuatu yang aneh. “Niko! Hai! Kok Niko tumben gak lari? Apa Niko capek karna abis latihan?”

Demi tim basket tanpa ada Cakra di dalamnya, Niko rela melakukan ini. Cowok itu memejamkan matanya kua-kuat. Lalu menghela napas berat.

“Niko kok diem aja? Niko sakit ya? Dari tadi Alina gak liat Nik—”

“Gue dari tadi di kelas. Kok tumben lo gak carriin gue ke kelas?”

Oke, pikiran dan ucapan rupanya tidak selalu sejalan. Ucapan Niko barusan sanggup membuat gadis di hadapannya ini memelotot senang. Sekaligus tak percaya.

“Aaa! Sorry sorry. Tadi Niko ngomong apa? Boleh ulangi? Niko Niko cariin Alina? Niko kangen Alina samperin ke kelas?”

“Lo gak usah kegeeran!”

Okey, Alina salah kaprah. Dia mneunduk malu.

“Maksud gue …” ucapan Niko terpotong ketika melihat seseorang yang menatap ke arahnya dari kejauhan.

“Maksud gue, sepi juga gak ada orang kek lu.”

Senyum Alina kembali mekar.

“Niko? Tuh kan bener Niko kangen sama Alina.”

Cowok itu anya memutar bola matanya.

“Terserah lo. Pokonya mulai besok, samperin lagi gue ke kelas atau gak usah muncul lagi di hadapan gue,” ucap Niko sebelum pergi dari sana.

“Iya iya Niko siap!” ujar Alina semnagat.

Alina masih tidak percaya dengan ucapan Niko. Tapi, dia tak begitu memikirkan hal itu. Yang penting, sekarag dia berpikir kala Niko sudah mulai luluh dan dia harus lebih gnecar lagi mendapatkan hatinya Niko.

***

Sebuah kebahagiaan jika seseorang yang disukai sudah berada pada zona luluh dengan dia yang selama ini memperjuangkannya. Alina contohnya. Mulai dari pagi hari di parkiran sekolah, ia sudah setia menunggu pangeran idamannya datang, lalu dia bisa memberinya sambutan hangat. Saat istirahat, Alina juga tak pernah setidaksabar kali ini untuk cepat-cepat keluar dari kelas dan menghampiri kelasnya Niko serta membawakan cowok itu makan siang atau bekal yang ia buat sendiri di rumah.

“Cakra!”

Dipanggil Namanya, Cakra yang hendak masuk kelas lantas rela berbalik. Dia baru saja ingin melontarkan senyuman kepada sahabatnya itu, tapi …

“Eh, sorry, Cak. Salah mangil,” ujar Alina yang kemudian membuat mood cowok itu menjadi buruk.

“Gapapa. Gue masuk kelas ya, Lin.”

“Okey.”

Setelah Cakra masuk kelas, Alina merasa bersalah. Tadinya ia ingin langsung memanggil nama Niko begitu sampai di depan kelasnya. Namun, sosok yang pertama kali tertangkap oleh mata adalah Cakra. Sebuah kerinduan juga yang membuat dia refleks menyebut nama yang belakangan ini sangat ia hindari demi mamanya.

Dari dalam kelas, Cakra melihat Alina yang begitu kegiaragan. Memanggil nama Niko. Lalu, setelah cowo yang ia panggil melihat ke arahnya, Alina pun menghampirinya. Dan seperti biasa, ia menyerahkan bekal kepada Niko. Namun suatu keaehan bagi orang-orang disana. Niko menerma dengan baik tanpa mencela atau bahkan membuang kotak bekal itu. Di samping mereka yang merasa aneh, Alina justru senang sekali saat ini. Yang ia yaini hanyalah, Niko mulai luluh dengannya.

Memang suatu kebahagiaan melihat orang yang kita sayangi bahagia. Namun, entah kenapa, seumur-umur ia bersama Alina, Cakra sama sekai belum pernah melihat Alina sebaahagia itu. Tapi kenapa? Kenapa fase paling bahagianya Alina, senyum paling manisnya Alina, bukan berasal dari Cakra? Adakah yang salah dengan dirinya?

***

(Bukan) Dari CakraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang