15. Gadis Berambut Kuncir Kuda

13 7 0
                                    

“Meskipun gelap, jangan harap lo bisa kabur dari gue.” Irene menarik tangan Alina dan membawa gadis itu ke tembok dekat bilik toilet yang paling pojok.

Alina tidak bisa kemana-mana sekarang.

“Jujur, ini bukan bagian dari rencana kita. Tapi, kayaknya seru juga kalau harus improvisasi,” ujar Irene sembari tersenyum puas.

“Buat siapapun yang matiin lampu, thank you,” ujar Irene kembali sebelum mendorong Alina cukup kuat hingga terjatuh lalu membawa teman-temannya menuju ke luar toilet. Memang tidak terlalu sulit ntuk keluar karena keberadaan pintu toilet tidak jauh dari tempat mereka tadi.
Alina pun hendak ikut keluar, tetapi Irene dan kedua temannya mengunci gadis itu dari luar.

“Irene, buka pintunya!” teriak Alina sembari terus mengetuk-ngetuk pintu. Kini, Alina benar-benar paik dan ketakutan. Lama-kelamaan, gadis itu mulai menangis. Sepertinya tidak ada orang lain juga diluar sana.

“Cakra, tolongin Ana, Cakra! Alina takut gelap.”

Seketika lampu kembali nyala. Alina menatap ke sekliling yang kembali bisa terlihat. Ia kembali mencoba membuka-buka pintu, nmaun nihil, tetap belum bisa dibuka. Tapi, setidaknya dia kini tidak lagi ketakutan karena gelap.

KREETTT

Suara pintu dibuka dari arah luar. Alina sennag, mungkin orang baik yang mau menolongnya. Tapi, ia juga takut kalau itu Irene lagi.

Ternyata bukan. Seorang gadis dengan rambut dikuncir kuda yang membuka pintu.

“Kamu?”  tanya Alina.

“Sssttt!” Gadis itu meminta Alina untuk jangan berisik, lalu menutup pintu dengan cepat namun berushaa tanpa suara yang keras.

“Lo sekarang ganti baju lo sama baju seragam gue, ya. Ini,” ujarnya seraya menyerahkan satu set seragamnya kepada Alina. Alina masih kebingungan.

“Kamu dari kapan pulangnya?”

“Udah, nanti gue ceritanya. Sekarang, lo ganti baju dulu, ya.”

“T-tapi, kenapa tiba-tiba kayak gini? Anu. Bukannya kita gak deket ya?”

“Emangnya harus deket dulu, ya, kalau mau berbuat baik?” ujar gadis berabut kuncir kuda itu. Alina menggeleng pelan.

“Udah, sekarang lo ganti dulu baju lo, ya.”

“O-oke. Thank you,” balas Alina sebelum memasuki bilik toilet untuk mengganti bajunya.

“Eh, Lin.”

“Ya?”

“Tolong jnagan kasih tau siapapun tentang ini, ya. Terutama Irene. Anggap aja kita gak pernah ngobrol.”
“Okey Alina ngerti, kok. Makasih, Ara.”

Gadis yang dipanggil Ara oleh Alina itu pun tersenyum . “Gue duluan ya. Kalau mau dibalikin seragamnya, taro aja di ruang olimpiade. Irene gak bakal curiga. Lo kan juga anak olim.”
Alina mengangguk dan menuju ke bilik toilet. Sementara itu, Ara meninggalkan toilet.

***


“Okey, sebelum kita masuk ke materi hari ini, tolong kumpulkan dulu tug-"

Tok tok tok.

Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian seisi kelas. Disana, Alina dengan wajah innocent-nya.
, tersenyum ke arah guru Fisika yang tengah berdiri di depan kelas.

“Maaf, Bu. Saya telat.”

“Kenapa bisa telat Alia? Tidak seperti biasanya.”

I-iya bu maaf. Tadi saya sakit perut.dan baru beres.”

Beberapa siswa di kelas itu saling bertatap-tatapan dan menertawai Alina pelan.

“Sudah beres urusanmu di toilet?” tanya guru itu kembali.

“I-iya, Bu. Udah beres. B-boleh saya masuk, Bu?”

“Sebenarnya saya kurang suka dengan anak yang telat. Tapi, rugi juga kalau siswa yang sering bertanya seperti kamu tidak ada di kelas. Silakan duduk."

“Baik, terimakasih, Bu.”

Alina menuju ke tempat duduknya. Melewati Irene , gadis itu hanya menatap seperti melupakan kejadian beberapa waktu yang lalu di toilet. Ia kini mau fokus belajar.

Sementara itu, Irene saling bertatapan dengan kedua temannya. Kenapa bisa, Alina yang tadinya basah kuyup dan terkunci di toilet, tiba-tiba ada di hadapannya sekarang.

“Pasti si cowok ngeselin itu,” dumel Irene dalam hatinya.

(Bukan) Dari CakraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang