Izin

897 47 2
                                    

"Tumben pulang."

Langkah panjang Rafa terhenti mendengar suara menyebalkan milik kakaknya—Zac. Yang saat ini bersandar pada tangga, memperhatikan adik bungsunya berjalan memasuki rumah keluarga Abiyan.

Decakan pelan lolos dari bibir Rafa, melirik sekilas kakaknya. Lalu kembali melangkah untuk menemui sang bunda. Rafa mengedarkan pandangan ke setiap sudut taman belakang, namun tidak menemukan sosok perempuan yang sangat ia sayangi itu. Sampai tepukan keras mendarat di bahu Rafa, membuatnya terlonjak kaget.

"Bunda di kamar," Zac terkekeh puas melihat wajah terkejut Rafa.

"Ck, pergi sana," Rafa menatap malas Zac, kemudian berlalu meninggalkannya menuju lantai dua. Belum sampai tujuan, Rafa kembali dibuat kaget oleh teriakan nyaring yang berasal dari seorang gadis cantik. Gayanya yang elegan berkelas, berbanding terbalik dengan perilakunya yang suka teriak-teriak, mengomel, keras kepala, galak dan masih banyak lagi. Rafa saja tidak sanggup jika harus tinggal bersama kakak perempuannya, ralat kembaran Zac—Qiya.

"RAFA, ADIK KECIL KU, YUHUUU," suara Qiya menggema, disusul derap langkah tergesa gadis itu menaiki tangga. Saking semangatnya ia bahkan hampir terjungkal. Beruntung dengan singgap Zac menahannya. Bukannya berterimakasih pada kembarannya itu, Qiya malah berlari, saat matanya menangkap sosok adiknya dengan cepat gadis itu menubruknya.

Sedangkan Rafa yang tidak siap menerima beban dari belakang, tubuhnya ambruk, dengan posisi Qiya berada di atas badan tegapnya. Pasrah menerima serangan sang kakak, pukulan, cubitan, telinganya di jewer, rambutnya ditarik kasar dan berbagai penyiksaan manis dari kakaknya itu.

"Kemana aja lo, bisa-bisanya baru pulang sekarang," Qiya bangkit, berdiri didepan Rafa sambil berkacak pinggang.

"Gue sibuk," Rafa hendak mengetuk pintu kamar milik bundanya, namun tertahan sebab Qiya dengan cepat mencekal tangannya.

"Lepasin Qi, gue ada urusan sama bunda," Rafa berusaha melepas cekalan ditangannya, entah mengapa kekuatan kakaknya itu terasa lebih kuat. Sehingga dapat menariknya menuju ruang keluarga. Dimana sudah ada Zac yang tertawa, gembira melihat adiknya disiksa oleh Qiya.

"Bunda lagi arisan, sini dulu, astaga ni bocah ngeyel bener." Qiya kualahan menahan tubuh Rafa agar tetap duduk tenang disampingnya. Alhasil gadis itu meletakkan kedua kakinya di atas paha Rafa sambil mencekram kuat kedua tangan adiknya. Berhasil membuat Rafa diam, lebih tepatnya pasrah.

Menghela nafas berat, Rafa memilih menuruti sang kakak duduk ditengah-tengah Zac dan Qiya. Seperti ketika mereka kecil dulu. Masa kecil ketiganya terbilang sangat harmonis,  Bunda dan Ayah mendidik ketiga anaknya itu dengan baik. Tetap tak jarang ada pertengkaran kecil yang terjadi, dengan Rafa sebagai adik bungsu yang menjadi korban. Mengingatnya membuat Qiya tersenyum geli, wajah lugu adiknya, suara tangis Rafa, bagaimana polosnya Rafa saat itu menuruti setiap perintah Zac dan Qiya serta masih banyak lagi. Berbanding terbalik dengan sikap Rafa sekarang, dingin, datar, brengsek, keras kepala, bahkan adik kecilnya itu dengan berani memilih tinggal seorang diri.

"Mau apa?"

Qiya melotot mendengar pertanyaan adiknya, "Heh, lo gak mau temu kangen sama kita? Peluk kek, cium kek, atau bagi uang sini." Qiya terkekeh setelah mengucapkan kata terakhirnya. Bukan, ia bahkan tidak kekurangan uang sama sekali, orang tuanya selalu memberi jatah uang bulanan padanya. Hanya saja Qiya merasa sedikit iri dengan Rafa yang sudah bisa memiliki penghasilan sendiri di usia muda. Meski begitu jauh di dalam lubuk hati Qiya sangat bangga dengan adik bungsunya tersebut.

"Baru minggu lalu gue transfer. Buat ngapain aja, mabok lo ya?" Rafa bertanya pada Qiya. Seingatnya dia baru mengirim uang pada keluarganya minggu lalu dan sekarang gadis itu sudah memalaknya lagi.

SigrietTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang